Jakarta, Lampungnews.com– Sebanyak 4 rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (CLK), RUU Kefarmasian, RUU Pemindahan Ibukota Negara dan RUU Perpajakan yang masuk dalam Prolegnas, kini sudah disahkan oleh DPR. Meskipun masih menyisakan kritik, namun DPR menetapkan keempat RUU menjadi prioritas di tahun 2020.
Tim Penyusun RUU Omnibus Law, Dr. Ahmad Redi, menilai dalam konteks tradisi berhukum, Omnibus Law bukanlah hal yang baru, artinya sudah lama dilakukan oleh Indonesia bahkan negara-negara lainnya untuk mengoreksi beberapa Undang-undang yang dianggap bermasalah dan perlu dilakukan koreksi. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan agar lebih efektif dan tidak memerlukan biaya yang tinggi jika dibandingkan dengan merubah Undang-undang lainnya secara satu persatu.
“Sebenarnya Omnibus Law ini semangatnya sangat baik dan positif yang terbukti sukses dilaksanakan oleh beberapa negara lainnya. Kami sebagai tim perumus hanya ingin memastikan tidak ada pasal-pasal yang merugikan kepentingan nasional,” ujarnya dalam diskusi publik bertema Urgensi Omnibus Law Dalam Mempercepat Transformasi Ekonomi yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) bekerjasama dengan Jamkrindo, Kamis (30/1/2020) di Jakarta.
Terkait dengan transformasi ekonomi Indonesia, Prof. Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina mengatakan ada 6 hal yang menjadi keinginan bersama dan harus dilakukan oleh pemerintah yaitu transformasi struktur ekonomi yang berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi yang bernilai tinggi. Kedua, penyeimbangan antara ekonomi agriculture, manufaktur dan jasa. Ketiga, transformasi ekonomi yang tidak hanya ditopang oleh sektor konsumsi tetapi juga investasi. Keempat, tranformasi yang struktur ekonominya memperbanyak disektor informal. Kelima, transformasi perusahaan besar yang dapat meningkatkan UMKM. Keenam, transformasi yang dapat merubah low productive menjadi high productive.
“Alasan bahwa Omnibus Law perlu dilakukan karena sebenarnya untuk mendorong transformasi ekonomi ini lebih cepat. Namun saya berharap pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat dilibatkan dalam pembahasan di DPR untuk memberikan masukan demi penyempurnaan RUU Omnibus Law terutama RUU CLK,” tuturnya.
Selain itu, kata Firmanzah, Pemerintah juga harus menjelaskan secara mendetail dan gamblang kepada publik terkait dengan kondisi Indonesia sebelum dan setelah adanya Omnibus Law. Jika ini dilakukan, setidaknya akan meredakan kegelisahan publik terhadap Omnibus Law.
Menyikapi kondisi saat ini terkait dengan Omnibus Law, Adriyani, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengatakan bahwa pada prinsipnya Kemenaker melihat dari sisi kepentingan tenaga kerja dan pengusaha. Demikian halnya dengan RUU CLK, Kemenaker ingin memastikan bahwa investasi yang dilakukan benar-benar menciptakan lapangan kerja.
“Kami bukan menolak investasi, tetapi ingin memastikan bahwa investasi tersebut seoptimal mungkin bisa menciptakan lapangan kerja. Jadi dalam setiap pembahasan regulasi, Kemenaker selalu memperhatikan kedua aspek ini yaitu pekerja dan pengusaha,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota lembaga kerjasama Tripartit Nasional, Sukitman berpendapat, semangat dan niat yang baik dalam menerbitkan Omnibus Law harus diiringi dengan jalan yang baik. Bagi buruh, penolakan dilakukan bukan karena soal revisinya, namun seringkali tidak adanya trust ketika proses penyusunan RUU untuk merevisi.
“Kami berharap proses ini jangan diulangi lagi. Jadi semangat dan niat yang baik akan kami terima, tetapi juga harus diikuti dengan jalan yang baik,” pungkasnya. (*)