Jakarta, Lampungnews.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menggelar media briefing dengan tema overview kinerja sektor usaha kehutanan tahun 2019 dan upaya mendongkrak investasi dan ekspor hasil hutan tahun 2020 pada Jumat (03/01/2020) di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Indroyono Soesilo mengungkapkan bahwa melambatnya perekonomian global, yang antara lain disebabkan persaingan dagang Amerika Serikat dan China, memberikan dampak pada melemahnya perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2019.
“Berdasarkan data IMF, pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 3 % dari proyeksi sebelumnya 3,7 %. Lalu pada realisasi penerimaan pajak s/d 26 Desember 2019 sebesar Rp 1.578 triliun (80,3 % dari target), defisit neraca perdagangan mencapai US $ 3,11 miliar (periode Jan-Nov 2019) dan pertumbuhan ekonomi maksimal sebesar 5,1 % dari target makro APBN 2019 sebesar 5,3 %. “Kondisi perekonomian dunia memberikan tekanan yang nyata bagi perekonomian Indonesia di tahun 2019,” sebut Indroyono.
Lebih lanjut, Indroyono memprediksi tahun 2020 produksi kayu alam relatif tetap, sedangkan produksi kayu tanaman akan meningkat. Nantinya pasokan bahan baku industri pengolahan kayu akan bergeser ke hutan tanaman, kayu alam hanya akan digunakan untuk produk bernilai tinggi.
“Produksi HHBK dan bioprospecting serta investasi usaha di pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan kebijakan pengembangan multi usaha di hutan produksi, yang sedang digodok intensif saat ini. Sementara itu, kenaikan realisasi penanaman akan terus berlanjut di tahun 2020 sejalan dengan terbitnya Permen LHK No P.10 dan No. P.11 tahun 2019, yang memberikan pengaturan dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut serta Permen LHK No. P.62 tahun 2019 tentang Pembangunan HTI,”ungkap Indroyono.
Kemudian pada Permen ESDM No. 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, berada dalam proses revisi dalam rangka merubah skema penentuan harga yang awalnya didasarkan pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) menjadi skema Feed in Tariff.
“Skema yang terakhir ini lebih fair, karena didasarkan atas biaya investasi minus margin keuntungan. Didukung dengan kebijakan insentif keringanan PNBP untuk Kayu Bulat Kecil yang sedang diproses saat ini, pengembangan energi bio massa dari hutan produksi akan makin berkembang,” tutur Indroyono.
Selain prakondisi kebijakan tersebut, dalam rangka peningkatan ekspor kayu olahan, didorong kerjasama dengan para Duta Besar RI untuk negara-negara dengan tujuan ekspor potensial, yang dalam waktu dekat akan dimulai dengan Dubes RI di Beijing dan Dubes RI di Seoul.(*)