Bandarlampung, Lampungnews.com – Keterbatasan fisik bukan menjadi halangan untuk tetap bekerja dan menghidupi keluarga. Mental baja dan semangat membara sangat terasa dari para difabel ini.
Matahari telah mencapai titik tertinggi, Slamet (40) sudah berdiri sejak pagi di depan SPBU Ki Maja, Way Halim. Tangan kirinya memegang mikrofon. Speaker aktif tersampir di pinggang. Tangannya mengusap kening dan kedua matanya yang buta.
Sudah belasan lagu dia nyanyikan di depan SPBU itu. Nada-nada merdu mengalun syahdu. Tak banyak memang yang memberikan uang, adakalany hanya receh senilai ratusan rupiah.
Meski demikian, Slamet mengaku sudah amat bersyukur ada orang yang memberinya uang jasa penghiburan itu.
Slamet menuturkan, keluarga menjadi semangat untuk bekerja dan terus bekerja memberi nafkah sang istri dan kedua buah hatinya.
“Keluarga jadi penyemangat hidup, kalau penghasilan tidak tentu paling banyak 50 ribu,” katanya, Minggu (19/2/2017).
Rumahnya lumayan jauh, di Kelurahan Labuhan Ratu. Slamet memilih berjalan kaki dari rumah kontrakannya yang seharga Rp 500 ribu per bulan ke lokasinya mengamen untuk menghemat pengeluaran. Namun, Slamet mengaku ikhlas menjalaninya dari pagi hingga sore.
Lebih baik berusaha daripada terhina
Pun begitu dengan Zainal Abidin (34), seorang loper koran di lampu merah Tugu Adipura. Kaki kirinya putus dan dia harus menopang dengan tongkat.
Tak terlihat rasa putus asa dari raut Zainal. Meski harus tertatih dan susah payah, Zainal menghampiri satu per satu mobil yang berhenti.
“Koran, Oom. Koran,” suaranya lantang sambil menjulurkan koran di tangan kanan.
Tak semua yang memperdulikan dirinya, beberapa bahkan acuh tak peduli tapi Zainal tidak mau mengeluh.
“Saya nggak punya siapa-siapa, kalau saya tidak semangat menjalani hidup, saya mau jadi apa, saya bisa semakin terhina, saya tidak ingin jadi peminta-minta, saya punya harapan yang tinggi,” ungkapnya.
Zainal tidak ingin dipandang sebelah mata oleh siapapun, itulah yang menjadi alasan dirinya tetap semangat menjalani hidup. (Davit)