Bandarlampung, Lampungnews.com – Selama kurun waktu lima tahun terakhir, harga karet beku petani di Lampung Selatan, Provinsi Lampung terpuruk di kisaran harga Rp4.000 perkilogram (/kg), namun kini mulai menggeliat naik mencapai Rp7.500/kg untuk karet basah, sedangkan karet kering dengan kadar air rendah mencapai Rp8.500/kg.
Selama itu, mereka tak berdaya, hanya berdiam diri menanti pergerakan harga karet membaik. Banyak yang putus asa lalu menebang tanaman karet miliknya diganti dengan tanaman semusim yang dinilai lebih menghasilkan seperti singkong, jagung, sayuran dan tanaman semusim lainnya.
Puncak harga tertinggi karet sekitar akhir tahun 2010 hingga 2011 menyentuh harga Rp14.000/kg. Namun itu pun hanya beberapa bulan saja, selanjutnya harga karet terpuruk pada kisaran harga Rp3.000-Rp4.500/kg hingga sekarang. Bahkan sempat menyentuh titik terendah Rp2.000/kg.
Kenaikan harga karet saat ini, menjadi harapan baru para petani karet, karena lima tahun lalu, sempat menyentuh harga Rp14.500 per kilogram selama enam bulan kemudian anjlok di kisaran Rp2.000/kg sampai Rp3.000 perkilogram sampai akhir tahun 2016.
Akibat penurunan itu banyak petani putus asa dan menebang tanaman karet lalu mengganti dengan tanaman lain seperti singkong, jagung atau palawija lainnya dengan harapan lebih menghasilkan. Ada juga yang membiarkannya hingga bertahun-tahun tanpa disadap sama sekali.
Salah satu petani karet di Kecamatan Tanjungsari, Lampung Selatan, Warto, mengatakan harga karet saat ini sudah membaik pada harga Rp7.000/kg untuk karet basah namun jika sudah inapan atau kering mencapai Rp8.500/kg.
Kenaikan harga ini sudah berlangsung selama dua bulan terakhir bersamaan dengan para penyadap mulai membuka jalur sadapan di batang kareng karena sudah lama berhenti akibat harganya yang tidak sebanding dengan pendapatan petani.
“Sebagian tetap menyadap tapi sebagian lagi ada yang berhenti menunggu harga membaik,” kata dia.
Ia mengaku, sangat bersyukur dengan kenaikan ini karena sangat membantu menambah pendapatan untuk keluarga, sebelumnya hanya mengandalkan hasil bercocok tanam padi dan sayuran dengan masa panen dua sampai tiga kali setahun.
“Harga karet anjlok, ya menanam padi di sawah dan sayuran, kalau harga naik nyadap lagi,” kata dia.
Sebenarnya, lanjutnya, petani tidak berharap muluk-muluk kenaikan harga karet, minimal bisa untuk menutup kebutuhan keluarga sehari-hari.
“Kalau panenan padi untuk kebutuhan makan karena panenan tiga sampai empat bulan, sedangkan hasil karet untuk harian,” jelas Warto.
Ia mengaku, agak menyesal karena terpuruknya harga karet sempat membuatnya putus asa, kemudian menebang sebagian tanaman karet untuk ditanami jeruk, melihat harga saat ini tentunya tanaman karet lebih menghasilkan.
Penyadap lainnya, Hermanto mengaku harga karet saat ini sudah membaik sehingga sudah aktif lagi menyadap karena sempat berubah haluan menjadi kernet mobil untuk menafkahi keluarga.
“Empat tahun lebih tidak menyadap karena harga getah murah, tidak cukup untuk makan, apalagi cuma buruh nyadap punya orang,” terangnya.
Dalam sistem pengupahan sadapan karet, kata dia, aturan yang berlaku di desanya yakni dibagi dua dari hasil menjual getah karet kepada pengumpul, penyadap 50 persen dengan pemilik perkebunan 50 persen.
Harga saat ini, lumayan menjanjikan bagi petani karena dari satu hektare tanaman karet bisa menghasilkan minimal 50 kilogram getah karet beku, jika harga karet Rp7.000 pendapatan dapat mencapai Rp350.000.
Hermanto berharap harga getah karet ini bisa tetap stabil minimal harga Rp7.000 per kilogram agar para penyadap bisa menutup kebutuhan sehari-hari untuk keluarga. (Kristian Ali)