Bandar Lampung, Lampungnews.com – Ribuan hektar hutan dibakar. Orang utan dibantai. Gajah dibunuh. Harimau diburu. Perilaku barbar ini ditangkap dan dikritisi untuk diungkap ke publik oleh Regina Septiarini Safri (Rere) melalui bidikan kameranya. Dia geram atas kerakusan manusia terhadap alam.
Puncak kegeraman pewarta foto LKBN Antara yang telah belasan tahun bergiat di dunia jurnalistik ini pun terpatik saat dia masuk hutan di Kalimantan pada 2011 lalu. Perempuan berusia 33 tahun yang awalnya hanya ingin memotret kehidupan orang utan ini berpikir dalam. Dia tak habis pikir, kenapa primata langka ini kurang perhatian, baik itu dari pemerintah maupun masyarakat.
“Awalnya liputan biasa, lama-lama jadi suka. Melihat orang utan ini dibantai, hutannya dibakarin aku jadi berpikir bagaimana keadaan mereka selanjutnya kalau ini dibiarkan terus. Bergerak dari orang utan di Kalimantan ini aku buat buku,” kata Rere saat dihubungi lampungnews.com, melalui sambungan telepon, Kamis (3/3).
Kecintaannya terhadap satwa-satwa langka ini pun semakin kuat. Medio 2013 Rere kembali memutuskan untuk menjelajah hutan di Sumatera, dari Aceh hingga Lampung. Perjalanan keluar masuk hutan ini ia tuntaskan dalam kurun waktu tiga tahun.
Di Sumatera, beragam cerita tentang kebarbaran manusia atas alam kembali didapatkannya. Satwa langka seperti harimau, badak, gajah, dan orang utan menjadi inspirasinya untuk segera dimuntahkan dalam sebuah karya buku.
“Untuk buku yang akan di-launching ini aku memang akan mengangkat perjalananku tiga tahun keluar masuk hutan ini. Selain keempat satwa tadi, aku juga mengangkat soal suku pedalaman Jambi dan Mentawai, tentang forest crime seperti pembalakan liar, pembantaian satwa, perburuan, dan pembakaran hutan,” katanya.
Dari perjalanannya di Sumatera, Rere mengaku mendapatkan pengalaman luar biasa dalam hidupnya. Di Jambi, misalnya, untuk mendapatkan foto dan bahan liputan yang lengkap, Rere harus tinggal berbulan-bulan dengan suku pedalaman, Suku Talang Mamak.
“Untuk Sumatera ini banyak pengalaman yang penting dalam hidupku. Waktu aku tinggal dengan suku Talang Mamak kurasakan yang paling beda. Karena aku harus makan dan tinggal sama mereka, susah sinyal, merasakan mandi di sungai, jauh dari kehidupan pada umumnya. Aku jadi lebih bersyukur dengan kondisiku yang sekarang, dari mereka aku jadi banyak belajar. Makanya aku berusaha ingin bantu dengan apa yang aku bisa,” ujarnya.
Provinsi Lampung diakui Rere sebagai tempat yang paling sering dia kunjungi. Taman Nasional Way Kambas selalu menjadi tempat yang wajib ia datangi. Mulai bertemu dengan gajah jinak hingga ikut patroli bersama gajah liar.
“Aku sempat ikutan mau pasang GPS ke gajah liar. Aku dapat pengetahuan penting bagaimana nanti kalau ketemu dengan gajah liar di hutan. Katanya kalau ketemu gajah liar larinya jangan lurus tapi zig zag, terus kalau pakai baju luaran harus dilepas dan dilempar karena gajah mendeteksi lewat indera penciuman pertamanya. Memotret yang begini punya sensasi yang beda, deg-degan dan adrenalin kita terpacu,” katanya. (El Shinta)