Pringsewu, Lampungnews.com – Alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian di Pringsewu semakin masif. Laju konversi lahan pertanian di sejumlah wilayah pun seperti tak terkendali.
Di Kecamatan Pringsewu, misalnya, lahan pertanian di pusat kabupaten ini tiap tahunnya tergusur untuk mendirikan bangunan. Bahkan, banyak lahan sawah kini telah berubah menjadi kawasan permukiman.
Ironisnya, konversi lahan di wilayah itu justru marak di lahan sawah yang telah dilengkapi dengan fasilitas irigasi. Meski jelas, larangan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2013 dan Peraturan Gubernur Nomor 63 tahun 2014.
Ancaman pidana hingga denda Rp1 miliar pun tak digubris. Investasi perumahan/properti yang dinilai menjanjikan keuntungan besar, menjadikan alih fungsi lahan di Pringsewu terus berlangsung.
Hingga kini, belum tampak adanya upaya dari pemerintah daerah setempat dalam mempertahankan lahan pertanian pangan berkelanjutan di daerah berjuluk Kota Bambu ini.
“Kelemahannya, lahan pertanian pangan berkelanjutan yang ditetapkan di Kabupaten Pringsewu belum ada peraturan bupatinya. Sampai sekarang belum dikeluarkan,” kata Ketua Serikat Tani Indonesia (Sertani) Kabupaten Pringsewu Suryo Cahyono, kemarin.
Menurutnya, pembiaran alih fungsi lahan pertanian yang menjadi fenomena tahunan di Pringsewu tanpa adanya aturan yang jelas bakal menggusur ikon kabupaten sebagai daerah pertanian.
Berdasarkan data BPS Pingsewu pada kurun waktu 2012-2014 luas lahan sawah di Kabupaten Pringsewu ini terus mengalami penurunan. Yang mana, luas areal pertanian yang telah beralih fungsi cukup luas, yaitu 515.74 hektare hingga 2014 lalu.
Tiga kecamatan tercatat paling banyak terjadi degradasi lahan sawah tiap tahunnya. Yakni Kecamatan Pringsewu, Gadingrejo, dan Sukoharjo. Namun, hingga kini Dinas Pertanian setempat tidak memiliki data real berapa luas lahan pertanian yang telah beralih fungsi. (Anton Nugroz)