
Lampungnews.com – Langkah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menggerebek gudang beras milik PT Indo Beras Unggul di Jalan Rengas Bandung, Kilometer 60, Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat, Kamis petang pekan lalu menuai polemik.
PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk berkukuh anak perusahaannya tidak memanipulasi harga dua merek beras yang diproduksi, ‘Maknyuss’ dan ‘Ayam Jago’.
Polemik dimulai saat Polri menuding bahwa PT Indo Beras Unggul mengoplos beras subsidi yang dianggap menggunakan jenis beras IR64, jumlah keuntungan ratusan triliunan rupiah, hingga soal stok beras di gudang yang mencapai jutaan ton.
Menanggapi, Komisaris Utama PT Tiga Pilar Sejahtera Anton Apriyantono mengatakan, beras yang diproduksi PT Indo Beras Unggul sesuai standar nasional Indonesia, bukan oplosan.
Mantan menteri pertanian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini juga tidak setuju disebut menjual beras di atas harga eceran tertinggi (HET).
Menurutnya, HET Rp9.000 per kilogram sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 47 Tahun 2017 terlalu rendah karena harga rata-rata beras melebihi Rp10.000 per kilogram.
Anton berpendapat, kebijakan itu perlu dievaluasi lagi, selain harus dibedakan antara beras medium dan premium karena berbeda kualitas.
“Di dunia perdagangan beras dikenal namanya beras medium dan beras premium. SNI untuk kualitas beras juga ada. Yang diproduksi TPS (Tiga Pilar Sejahtera) sudah sesuai SNI untuk kualitas atas,” kata Anton dikutip dari CNNIndonesia.com, Minggu (23/7).
Belakangan, Polri mengonfirmasi bahwa ada unsur persaingan tidak sehat dalam dugaan kecurangan PT Indo Beras Unggul. Ketua Satuan Tugas Pangan Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan dugaan ini terkait akses permodalan untuk membeli beras dari para petani.
Menurutnya, semua petani mendapatkan subsidi benih, pupuk, dan obat-obatan untuk menghasilkan gabah. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah menetapkan harga gabah penen sebesar Rp3.700 dan harga gabah kering giling Rp4.600, sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/m-dah/per/7/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Penjualan di Konsumen.
“Dengan ini diharapkan adanya keadilan mulai dari penghasil dari petani, penggiling kecil, menengah, bisa sama-sama menikmati hasil kerja,” kata Setyo di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Senin (24/7).
Kemudian, lanjut dia, hasil panen terbagi menjadi dua, yakni gadu dan rendeng alias musim kering dan musim hujan. Pada musim kering, kualitas gabah yang dihasilkan bagus. Namun, kualitas gabah yang dihasilkan petani mengalami penurunan pada musim hujan lantaran curah hujan yang tinggi.
Menurutnya, kondisi saat panen di musim kering dan padi berkualitas bagus, dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk menarik semua gabah-gabah yang berkualitas tinggi dari petani dengan tawaran harga yang tinggi.
Menurut Setyo, PT Indo Beras Unggul berani membeli beras varietas IR64 atau pengembangannya dengan harga tinggi pada musim panen gadu. Namun, pembeli yang modalnya terbatas tak bisa ikut ambil bagian karena tidak memiliki modal cukup.
Padahal, pemerintah berharap keuntungan dapat diterima oleh semua pihak secara merata, mulai dari tingkat petani, penggiling, pedagang, hingga konsumen, bukan pengusaha besar saja. Terlebih, pemerintah telah mengglontorkan dana sekitar Rp30 triliun untuk mensubsidi jenis beras ini, mulai dari benih hingga pupuknya.
Harus dipahami bahwa soal panen beras ada yang namanya panen gadu dan panen rendeng. Panen gadu terjadi pada musim kering seperti saat ini. Hasil berasnya sedikit, tapi kualitasnya bagus. Sedangkan ada panen rendeng, dipanen waktu musim hujan, hasilnya kurang bagus,” kata Setyo.
Sementara itu, terkait dua musim panen ini, Setyo menyampaikan pemerintah mengalami mengalami dilema. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sulit melakukan intervensi karena regulasi menetapkan Bulog tidak bisa membeli beras dengan harga lebih tinggi dari yang ditetapkan.
“Jadi di sini ada mekanisme yang tidak adil. Kalau dibiarkan, yang kecil tidak akan mampu beli,” tutur jenderal polisi bintang dua itu.
Sejauh ini, penyidik telah memeriksa 17 orang saksi dalam kasus yang disebut merugikan negara hingga triliunan rupiah ini. Mereka yang diperiksa berasal dari berbagai kalangan, antara lain pegawai PT Indo Beras Unggul, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, hingga pihak pengusaha modern retail.
Namun, meskipun telah menyegel gudang beras dan memeriksa saksi, penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus dugaan kecurangan PT Indo Beras Unggul ini. Dugaan sementara penyidik, PT Indo Beras Unggul melanggar tiga regulasi yakni Pasal 382 bis KUHP , Pasal 141 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, serta Pasal 62 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, harga beras yang dijual PT IBU tidak terlalu mengatrol harga beras di pasaran. Dia justru mempertanyakan sikap polisi yang terkesan terburu-buru menyimpulkan PT IBU bersalah.
Ia bahkan menyebut saat ini Sudan tidal ada istilah beras bersubsidi.
“Setahu saya subsidi itu sudah enggak ada sejak tahun 2000-an. Kalau perusahaan ini memonopoli pasar, oke dia salah, tapi kan dia juga tidak memonopoli pasar, yang jual beras bukan hanya dia,” kata Enny.
Enny berpendapat, jika PT IBU menjual beras biasa dengan harga premium, maka konsumen bakal mempertimbangkan harga sebelum kembali membeli beras di tempat yang sama. Penjual beras menurutnya bukan hanya PT IBU saja. Banyak produsen lain yang bisa dipilih konsumen jika mereka tidak puas dengan beras PT IBU.
“Pembeli kalau merasa harga tidak sesuai dengan rasa, pasti dia akan mencari yang lain, itu prinsip ekonomi,” kata Enny.(*)