Lampungnews.com – Bakso sebagai hidangan semua kalangan di Indonesia, ternyata tersohor di Korea Selatan. Kuliner ini tersebar di puluhan kota ‘Negeri Ginseng’.
Bakso Bejo Korea, dari namanya kita bisa menebak ini milik orang Indonesia atau WNI. Subandi (42), ialah orang asal Lampung yang ada di balik tersohornya bakso di Korea Selatan.
Mantan TKI ini berhasil melewati masa kritisnya sejak masih bekerja menjadi buruh, jatuh bangun menjual bakso, hingga kini memperkerjakan banyak WNI di perusahaan baksonya.
“Wah pahit getirnya sudah kenyang, mulai gak ada yang percaya sama bakso, gak laku, modal habis, sampai harus banting tulang kerja pagi ke pagi,” ujarnya saat dikutip dari kompas.com Jumat (22/7/2017).
Namun kini nama Bakso Bejo Korea menggema di puluhan kota di Korea Selatan. Rumah produksinya rata-rata mengabiskan dua kuintal daging, bahkan jika musim libur di sana bisa memotong tiga sapi hanya untuk satu hari pembuatan bakso.
Penikmatnya bisa mendapatkan bakso ini dengan tiga cara, membelinya secara online, datang ke kedai dan memakannya langsung, atau membelinya saat masih mentah di berbagai toko dan resto Indonesia yang tersebar hingga sudut Negeri K-Pop tersebut.
“Toko waralaba itu, ada yang pesen 30 kilo sampai ada yang 100-an kilo bakso untuk seminggu,” terang Subandi.
Itu belum yang di online, website bejokorea.com dan media sosialnya menjadi unjung tombak penjualan. Ragam bakso siap saji maupun kemasan dijual disana. Ada bakso beranak, bakso urat, bakso telur, dan olahan daging lainnya.
Kini websitenya tidak hanya menjual bakso, tetapi kebutuhan sehari-hari hingga obat dari Indonesia. Ia menjadi importir barang Indonesia, tujuannya agar WNI di Korea bisa menikmati apa pun dari Indonesia dengan harga yang terjangkau dan mudah dikontrol.
Sedangkan gerai offline-nya, berpusat di Pocheon dan tiga kota besar di Korea Selatan, yang merupakan basis 38.000 WNI.
Meski sudah sukses, Subandi tetap memudahkan para ekspatriat Indonesia dengan memperbolehkan mereka membeli kebutuhan pokok di website-nya dan membayarnya setelah mendapatkan gaji bulanan.
“Kalau musim liburan gitu wisatawannya bisa sampai menginap buat makan bakso di kedai pusat. Karena rumahnya pada jauh beda kota tapi pengen nyoba baksonya langsung,” tuturnya.
Bahkan jika ada bazar acara komunitas WNI seperti pengajian, tenda kulinernya paling dikerubuti para pengunjung. Rekor spektakuler yang pernah dialaminya, habis tiga kwintal hanya dalam empat jam saja dan menghasilkan laba kotor Rp 250 juta.
Ke depan, Subandi ingin sekali memperkenalkan baksonya di bandara-bandara Korea Selatan. Namun menurutnya masih perlu modal, dan kenal banyak stake holder.(*)