Lampungnews.com – Keinginan Rhoma Irama menjadi pemimpin negeri tak pernah surut. Apalagi setelah dikecewakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 2014 silam.
Rhoma Irama dijanjikan menjadi calon presiden oleh PKB. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, melihat salah satu tokoh tidak hanya melalui kualitasnya melainkan pamornya perlu diperhitungkan layak untuk diusung dalam pemilu 2014.
“Rhoma memiliki kekuatan di akar rumput,” ujar Cak Imin biasa Muhaimin disapa 2013 silam, dikutip dari merdeka.com.
Saat itu, Rhoma bersama group musik dangdutnya, Soneta, bahkan ikut berkampanye untuk memenangkan PKB. Namun, setelah pemilu legislatif selesai, PKB tak menepati janjinya untuk mencapreskan Rhoma.
Penyebabnya suara yang diperoleh PKB tak cukup buat mencalonkan capresnya sendiri. Alhasil, PKB pun meninggalkan Rhoma dan memilih mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Rhoma pun tak terima. Satria bergitar lantas meninggalkan PKB dan beberapa lama kemudian mendirikan partai baru bernama Partai Idaman. Di partai itu Rhoma menjabat sebagai ketua umum.
Kini setelah Undang-Undang Pemilu diketok dengan 20-25 persen presidential threshold, Rhoma pun tak terima. Rhoma Irama melayangkan gugatan UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Pemilu yang berisi syarat presidential threshold 20 persen itu dinilai sangat diskriminatif.
“Sangat diskriminatif. Presidential threshold dihapuskan jadi zero threshold untuk presidential,” kata Rhoma Irama di Gedung MK.
Rhoma menegaskan, Partai Idaman memiliki hak untuk mencalonkan dirinya sebagai calon presiden. Namun, dengan adanya syarat presidential threshold 20 persen maka hak tersebut gugur dengan sendirinya. Maka dari itu, dia melayangkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Idaman dalam hal ini punya legal standing untuk mencapreskan ketumnya. Kalau enggak (ingin jadi Wapres) saya ngapain ke MK,” ucapnya.
Selain itu, Rhoma yang dijuluki Raja Dangdut ini memastikan, Partai Idaman tidak mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Sikap ini merupakan langkah demokratis untuk mengawal kinerja pemerintah karena telah banyak partai politik yang menyatakan mendukung Jokowi di Pilpres 2019.
“Kalau semuanya satu suara (dukung Jokowi) saja enggak demokratis. Di seluruh negara di dunia ada namanya oposisi dan penguasa. Dan itu sehat dalam rangka penegakan demokrasi,” jelasnya.(*)