Bandarlampung, Lampungnews.com – Maraknya berita bohong (hoax) yang beredar secara masif di media sosial dianggap bukti kemandulan Undang-Undang (UU) Pers meredam hoax tersebut, khususnya menjelang pilkada.
Simpulan itu menguak dari diskusi yang ditaja Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Bandarlampung di Sekretariat AJI Bandarlampung, Jumat (18/8). UU Pers No 40 tahun 1999 dinilai belum menjangkau pemberitaan hoax media sosial justru semakin marak menjelang tahun politik.
Akademisi Universitas Lampung, Rudy Lukman menjelaskan, pembangunan UU Pers ini sangat lambat. Keadaan pada tahun 1999 sangat berbeda dengan realitas saat ini dan UU Pers perlu pembaruan.
“UU Pers belum menjangkau pemberitaan hoax yang menyebar cepat via media sosial,” jelas Rudy dalam diskusi bertajuk Hoax, UU ITE, dan Potensi Sengketa Pemberitaan dalam Pilkada tersebut.
UU Pers pun belum menjamin keamanan wartawan, oleh karenanya LBH Pers hadir dalam memperkuat status wartawan dan menjamin keamanan.
Saat ini media online di Lampung sendiri sudah banyak, banyaknya media online ini harus menjadi perhatian khusus Dewan Pers mengingat dari sekian banyak media hanya sedikit yang terverifikasi baik.
Bahkan UU ITE yang hadir tidak pandang bulu, siapapun yang menyebarkan berita hoax akan terkena sanksi. “Bagaimana dengan media? Sementara di UU Pers adanya hak jawab, hak ralat terkait pemberitaan,” katanya.
Mantan Ketua AJI Bandarlampung Firman Seponada mengatakan, hoax yang muncul saat ini merupakan dampak dari perkembangan teknologi dan banyaknya media yang dibuat secara sembarang.
“Terkait hoax dekat pilkada pasti akan muncul, kalau saya menanggapi berita miring tersebut saya liat dulu media yang memberitakan apakah media mainstream kalau gak setidaknya media itu jelas, harus ada susunan redaksinya? Berita-berita yang dimuat selama ini seperti apa, baru beritanya bisa kita percaya,” kata dia.
Firman menambahkan, UU Pers lahir di jaman pemerintahan transisi Presiden Habibie, namun seiring dengan berjalannya waktu UU Pers harus mengalami revisi sebab hanya memiliki 29 pasal dan belum mengikuti perkembangan zaman.
“UU Pers menurut saya harus diubah, AJI dan PWI harus duduk bersama, selama ini seperti jalan sendiri-sendiri, begitupun IJTI yang sibuk dengan media elektroniknya, ketiganya yang diakui dewan Pers harus berpikir mengenai pembaruan UU Pers,” jelasnya. (Davit)