Bandarlampung, Lampungnews.com – Lembaga Bahtsul Masail Nahdatul Ulama (LBMNU) Lampung pada hari Minggu (12/11/17) mengadakan pertemuan rutin 3 (tiga) bulanan untuk membahas masalah kontekstual dan-terbaru yang dibahas dalam pembahasan legal syar’i (Fiqh).
LBM NU Lampung selatan pada pertemuan ini membahas dua pembahasan pokok, yaitu program bupati Lampung Selatan terkait i’tikaf dan jual beli gas yang terjadi di masyarakat.
Berkaitan dengan pembahasan pertama, dalam pandangan fiqh (syari’at) tentang program kepala daerah yang mencanangkan program keagamaan i’tikaf , pada semua bawahannya dan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengannya secara administratif atau koordinasi; seperti kepala dinas, kepala sekolah satuan pendidikan, guru PNS, guru ngaji dan lain-lain. Di samping itu program tersebut hanya dipusatkan di satu titik yang terkadang jauh jangkauannya dari tempat tinggal dan dilaksankan 3 (tiga) hari, tak jarang program ini membuat tugas (kewajiban) bawahannya terganggu karena harus meninggalkan kewajiban dan tugas pokok.
Pada dasarnya, secara substansi dan esensi program keagamaan i’tikaf Bupati tersebut baik dan termasuk dalam kategori amar ma’ruf yang sunah. Namun program ini setelah dikaji bukanlah termasuk kebijakan yang mengandung kemaslahatan umum (‘ammah), seperti halnya keharusan pemerintah yang kebijakannya haruslah bersifat unifersal.
Lalu, jika memandang perintah (himbauan) bupati yang notabene dalam konteks fikih adalah na’ibul imam maka himbauan/perintah ini harus di tatati dzohiron saja (dalam artian tidak berdosa ketika ada yang tidak menta’ati). Keterangan ini diambil dari kitab karya Imam Syarqowi dan Sayyid Abdurrohman.
Namun, kewajiban taatnya tidaklah mutlak, karena dalam konteks programnya terjadi benturan, antara kewajiban mereka sebagai PNS, guru ngaji dan himbauan bupati untuk i’tikaf yang harus dilakukan berhari-hari. Tak jarang dari mereka yang meninggalkan tugas wajib untuk i’tikaf menyebabkan terganggunya jalannya pemerintahan dan jalanya proses pendidikan di satuan pendidikan yang mereka tinggalkan.
Memandang hal ini, ada mafsadah (kerusakan) yang terjadi hanya karena harus mengikuti himbauan bupati yang sifat programnya itu sunnah atau maslahah personal . Imam Suyuthy dalam bukunya menerangkan/menolak mafsadah lebih didahulukan daripada harus melaksanakan maslahah’.
Apalagi dalam konteks ini maslahahnya sifatnya personal. Bahkan dalam kitab is’adurrojik diterangkan bagi orang yang pergi meninggalkan tugas wajib(kewajiban) demi perkara sunnah walau ada himbauan dari pemerintah itu termasuk maksiat, dan hukumnya haram.
Kemudian jika, para PNS-baik guru atau pegawai-dan para guru ngaji yang mempunyai tugas pokok di kantornya, mengajar di sekolah, atau mengajar ngaji dan mereka tetap memaksa mengikuti i’tikaf, dengan alasan takut sanksi dan semacamnya, dalam tafsir khozin bisa dimasukkan dalam kategori khiyanat, seperti dalam tafsir ayat 58 surat An-Nisa. (Rls)