Bandarlampung, Lampungnews.com –– Kondisi Jalur Gaza, wilayah yang terkepung pendudukan Israel, kian sulit. Hampir dua juta rakyat Palestina yang berdiam di Gaza hidup dalam blokade Israel sejak 2006, saat Hamas berkuasa di sana.
Mosab al-Sharif, 40 tahun, ayah enam anak yang tinggal di kamp pengungsi Al-Shatti, mengaku tak dapat memberi makan anak-anaknya di wilayah tepi pantai Gaza yang miskin itu.
“Saya telah menganggur lebih dari 10 tahun, saya tidak bekerja. Mendapatkan pekerjaan di Gaza adalah misi yang tidak mungkin,” kata Al-Sharif seperti dilaporkan kantor berita China, Xinhua, Rabu (8/2).
Sharif mengandalkan bantuan makanan yang didistribusikan Badan Bantuan untuk Palestina (United Nations Relief and Work Agency for Palestinian Refugees in the Near East/UNRWA).
Saat ditemui Xinhua, Sharif sedang mengantre paket bantuan di pusat distribusi makanan UNRWA. Paket berisi beras, minyak goreng dan gula itu diberikan bagi tiap anggota keluarga.
“Saya biasanya mendapatkan satu paket makanan bagi tiap anggota keluarga setiap bulan,” kata dia. Namun pemberian paket itu menjadi tiga bulan sekali baru-baru ini.
“Jika UNRWA ditutup sedangkan saya tidak punya pekerjaan, anak-anak saya bakal mati kelaparan,” kata Sharif penuh kesedihan.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) meluncurkan kampanye penggalangan dana global untuk menjembatani defisit anggaran tahunan yang parah dialami UNRWA. Badan pengungsi untuk Palestina yang disebut memberikan bantuan kemanusiaan bagi 1,2 juta pengungsi di Gaza, termasuk kesehatan, pendidikan, makanan dan sanitasi.
Pengamanan ketat yang diberlakukan Israel terhadap pergerakan individu, termasuk pasien, pembatasan pengiriman barang melalui pos pemeriksaan juga memperburuk kehidupan di Gaza, yang terkepung.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sepanjang tahun 2017, ada 54 pasien yang seharusnya dirujuk ke rumah sakit lain di luar Gaza akhirnya meninggal dunia saat menunggu izin keluar dari wilayah kantong tersebut dari Israel.
Ismail Hothot, warga Gaza berusia 60 tahun duduk sepanjang hari di sebuah cafe di pinggir pantai. Dia mengaku keluar dari rumah sejak pagi, dan baru pulang sore “karena saya tidak punya uang untuk diberikan kepada istri dan anak-anak saya saat mereka pergi ke sekolah.”
“Penduduk Jalur Gaza tenggelam ke dasar samudera, di mana kaki kami diikat dengan jangkar yang berat agar kami tidak dapat keluar,” kata Hothot penuh kemarahan.
Dia menujukkan kemarahannya tidak saja kepada Israel, tetapi juga seluruh pihak di Palestina. “Situasi di Gaza sangat mengerikan, dan jika tidak segera diselesaikan rakyat akan meledak di muka Hamas, Fatah, Abbas (Presiden Palestina Mahmoud Abbas) dan Israel,” kata dia.
Menurut Kantor Koordinasi Barat Gaza, jumlah truk pengangkut barang yang masuk setiap hari mengalami penurunan. Dari 800 truk, menjadi hanya 300-400 truk per harinya sejak awal tahun.
Para pengamat menilai memburuknya situasi di Gaza adalah akibat blokade Israel selama lebih dari 10 tahun, juga perpecahan di dalam Palestina sendiri antara Hamas dan Fatah, partai Presiden Mahmoud Abbas, dan tiga perang yang dilancarkan Israel di Gaza, serta penutupan perlintasan masuk dengan Mesir di Rafah.
“Dalam beberapa bulan terakhir, perekonomian merosot dengan cepat. Jika situasinya tidak dapat diselamatkan, Jalur Gaza akan benar-benar ‘meledak’,” kata Mazen al-Ejlah, dosen dan pakar ekonomi dari Gaza seperti dilaporkan Xinhua.
“Saya meyakini bahwa menghentikan bantuan internasional dan Arab juga bantuan makanan nbagi non pengungsi serta penduduk miskin di Jalur Gaza membuat situasi makin sulit,” kata dia.
“Terutama setelah Program Pangan Dunia (WFP) menghentikan bantuan makanan bagi warga Gaza, serta UNRWA memangkas bantuan bagi pengungsi,” kata al-Ejlah.
Awal Januari lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penangguhan dana US$65 juta dari US$125 juta yang dijanjikan bagi UNRWA. Washington juga menghentikan bantuan pangan senilai US$45 juta bagi UNRWA untuk menekan Palestina agar mau berdialog dengan Israel, pascadeklarasi Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan menuai kemarahan seluruh warga Palestina.
(Sumber cnnindonesia)