Bandarlampung, Lampungnews.com –Sorotan muncul setelah DPR mengesahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (RUU MD3). Salah satunya terkait Pasal 122 huruf K.
Dalam Pasal 122 huruf K berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Aturan ini semakin tidak menunjukkan perlindungan terhadap warga negara yang melakukan kontrol terhadap DPR.
“Saya kira semakin jelas saja bagaimana DPR ini sesungguhnya sudah mulai kehilangan semangat perwakilan rakyat pada diri dan lembaga tersebut. Ini tentu lonceng kematian demokrasi yang harus segera dilawan,” kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dalam keterangan tertulisnya, dikutip dari Merdeka.com Selasa (13/2).
Menurut Lucius, aturan tambahan ini semakin memperjelas posisi DPR tidak mau mendapat kritik dari rakyat. Hal ini dinilai merusak sistem demokrasi.
“Ini juga menjadi simbol paripurnanya nafsu DPR untuk lari dari koridor demokrasi. Mereka sudah mulai main kasar dengan rakyat sendiri dengan pasal karet yang bisa sangat berbahaya ketika diterapkan,” ujarnya.
Lucius juga menyoroti Pasal 245 yang mengatur mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD. Menurutnya, aturan tambahan ini merupakan tipu muslihat DPR menahan serangan kritik dari publik.
Dia menjelaskan, pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum dengan tetap mempertimbangkan MKD berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Sebab, dia menilai, tak perlu ada tambahan aturan yang menyatakan pertimbangan MKD apabila sifatnya alternatif.
“Ini sesungguhnya kata tipuan DPR saja agar mampu menahan badai kritikan dari publik. Sekaligus dengan cara ini DPR sesungguhnya menunjukkan tingkat kelihaian dan kelicikan mereka untuk memperdaya publik,” kata dia. (*)