Bandarlampung, Lampungnews.com —
Konflik antara manusia dengan satwa liar masih terjadi di Lampung. Surat Keputusan (SK) Gubernur Lampung tentang pembentukan tim satgas penanggulangan konflik manusia dan satwa liar pun telah disosialisasikan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung ke masyarakat dan berbagai pihak.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Wiyogo Supriyanto menuturkan, ada faktor internal dan eksternal yang memicu terjadinya perseteruan. Kebijakan dan tindakan yang cepat dan tepat harus ada guna menanggulangi konflik tersebut.
“Berdasarkan Permen 48 tahun 2010, pemerintah provinsi menyampaikan amanat untuk segera membentuk satuan tugas (satgas) penanggulangan konflik,” kata Wiyogo pada pertemuan di Pusat Pemerintahan Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, baru-baru ini.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Agus Wahyudiono menyatakan, konflik yang terjadi di kawasan TNBBS adalah harimau memangsa ternak warga. Sementara gajah, merusak kebun dan tak jarang masuk permukiman.
“Dua tahun terakhir, tercatat 68 kali gajah merusak kebun dan masuk permukiman warga. Pada Juni lalu, sekelompok gajah mendatangi Desa Pardawaras, Srikaton, Karang Agung, Sidomulyo hingga Tulung Asahan,” jelasnya.
Agus menjelaskan, kebun warga yang rusak hingga 100 hektar. Terutama tanaman pepaya, sawit, pisang, nangka, cempedak, dan padi yang hancur. Konflik yang tak kunjung selesai ini bukan berarti pihaknya bersama mitra dan masyarakat tidak berbuat sesuatu. “Kami sudah melakukan berbagai upaya, namun gajah sering turun sementara warga makin emosi,” ujarnya.
Dia mengkhawatirkan jika kondisi ini dibiarkan berlarut oleh pemerintah dampaknya memicu kemarahan masyarakat. “Kasihan juga sebenarnya masyarakat yang selalu mengeluh kerugian kebunannya. Kita harus buat kajian bersama, bagaimana masyarakat berbagi ruang dengan satwa,” katanya lagi.
Agus menyatakan, meski konflik berlanjut namun pembentukan satgas belum mendapat restu bupati setempat. Alasannya, selama ini masyarakat mendapat perlakuan tidak adil sebagaimana diatur dalam perundangan kehutanan.
Baca juga: Jangan Ada Lagi Korban, Konflik Manusia dengan Gajah Harus Diselesaikan
Pembentukan satgas
“Masyarakat di sana butuh makan, kenapa dibilangnya perambah? Sedangkan korporasi melakukan penebangan liar, menguasai kawasan justru hukum cenderung diam,” ujar Agus Istiqlal, Bupati Pesisir Barat.
Agus berpegang teguh pada keputusan tiga menteri yakni menteri Kehutanan, Agraria dan Kependudukan bahwa warga yang menduduki lebih dari 20 tahun di kawasan, boleh mendapatkan sertifikat.
Faktor lainnya, Pemerintah Pesisir Barat merupakan daerah otonom yang melakukan pembangunan mercusuar. Sisi lain, anggaran pemerintah belum teralokasi untuk penyelamatan konflik satwa dengan manusia.
“Perbedaan pendapat ini yang mengulur penyelesaian konflik, khususnya di sekitar kawasan Pesisir Barat,” terangnya.
Sunarni Widyastuti dari Sumatran Tiger selaku fasilitator pembentukan satgas penanggulangan konflik manusia dengan satwa di kawasan TNBBS Pesisir Barat mengatakan, meski secara pribadi kepala daerah belum memberi restu, namun di tingkat bawah telah dibuat perencanaan strategis.
“Selama ini kami melihat, terbentuknya satgas memang kebutuhan dari kelompok masyarakat sendiri,” katanya.
Penyuluhan dan sosialisasi intensif guna memberikan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan dan satwa harus dilakukan. Pencegahan dan penanganan konflik bertujuan meminimalisir kerugian materi dan menghindari korban jiwa. “Kami akan melatih masyarakat terkait mitigasi dan penanganan konflik satwa liar bagi mereka yang berada di desa rawan konflik,” ujarnya.
Sumber : Mongabay.co.id