Bandung, Lampungnews.com – Pemerintah Indonesia telah menetapkan pandemi Covid-19 menjadi bencana nasional. Membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 merupakan salah satu kebijakan guna menangani berbagai masalah akibat Covid-19, mulai dari penanganan pasien hingga dampak ekonomi dan sosial. Kebijakan komprehensif Pemerintah nampaknya masih menuai kritik bahkan resistensi dari berbagai elemen masyarakat yang cenderung menuntut Pemerintah lebih tegas dalam menyikapi ancaman serius lain, yaitu radikalisme. Dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan beralihnya fokus aparat keamanan sangat berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan anti Pemerintah untuk memperburuk situasi dan kondisi.
Kesibukan bangsa menangani Covid-19 dijadikan peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif atau ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, serta menebar berita-berita hoax terkait kegagalan negara dalam penanganan Covid-19. Di tengah wabah Covid-19, masyarakat dan pemerintah harus bersatu dan bekerja bersama untuk segera menangani ancaman penyebaran dan dampak-dampaknya. Oleh karena itu, diadakan dialog interaktif (talkshow) 107.5 PRFM News Channel Bandung dengan tema: “Mencegah Radikalisme Berkembang di Tengah Wabah Pandemi Covid-19” pada Rabu, (22/04/2020) di Bandung.
Peneliti Senior Badan Litbang Kementerian Agama, Dr. Abdul Jamil Wahab mengatakan motif gerakan terorisme adalah motif keagamaan dan balas dendam. Mereka akan terus berjuang sampai sistem khilafah islamiyah berhasil mereka dapatkan.
“Ada hal yang dilematis, media menjadi partner bagi radikalisme, karena secara tidak langsung, media justru memberikan promosi bagi mereka. Berita terkait radikalisme menjadi marketable. Sebagai contoh, ada pemakaman dua terduga terorisme, hal itu diberitakan sangat luas. Dalam perspektif terorisme, ini bisa menjadi sesuatu yang kontraproduktif. Jangan sampai orang yang mati ditembak karena diduga teroris dianggap menjadi mati sjahid,” jelasnya.
Senada dengan Jamil, Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan menganggap terkait radikalisme, mereka dengan adanya pandemi covid ini tetap bergerak. Mereka memojokkan pemerintah bahwa pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman.
“Ujungnya mereka mengatakan penanganan covid ini salah karena negara tidak menganut sistem khilafah. Ini adalah hal yang tidak pantas. Banyak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak Islam, seperti tidak boleh jumatan dan tarawih. Padahal, ini maksudnya baik. Sudah lihat beberapa saudara kita yang terkena positif covid19 karena Sholat Jumat,” jelas pria yang pernah menjadi komandan Negara Islam Indonesia ini.
Dalam situasi covid19 ini, mereka menganggapnya seperti peristiwa perang, sama seperti pemilu kemarin, dimana narasi-narasi cebong dan kampret muncul kembali. Terlebih, masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap yang sangat terdampak, ini lebih rentan dihasut oleh kelompok teroris untuk memperkeruh suasana.
“Menghimbau kepada aparat agar meningkatkan pengawasan, dimana pada bulan Ramadhan, mereka menganggap amaliyah seperti pengeboman maupun tindakan kekerasan kepada aparat akan mendapat pahala yang lebih besar,” ucapnya.(*)