Jakarta, Lampungnews.com-Langkah pemerintah mendirikan rumah susun (rusun) untuk masyarakat marjinal di Jakarta disambut baik banyak pihak. Terlebih, mayoritas penghuni rusun merupakan warga DKI Jakarta.
Menteri Sosial Tri Rismaharini, sebanyak lebih dari 77% penghuni rusun ber- KTP warga DKI. Penelusuran redaksi menunjukkan, mereka ada yang tinggal 35 tahun, 38 tahun, 40 tahun dan bahkan sejak lahir sudah wargaa DKI Jakarta.
Sebagai contoh, penghuni rusun bernama Eko Susanto, misalnya, sudah tinggal di kawasan Plumpang, Jakarta Utara sejak 33 tahun lalu dengan profesi servis AC.
Kemudian ada Emas yang ternyata sejak lahir sudah di Jakarta. Meski asli Jakarta, ia hidup menumpang di rumah adiknya di Cilincing, Jakarta Utara sambil dagang makanan. Lalu ada Ade Rohmah, warga Karet yang sudah tinggal 40 tahun di Jakarta.
Mensos menjelaskan jumlah penghuni saat ini terdapat 78 KK yang merupakan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS). Kebanyakan dari mereka tinggal menumpang, mengontrak hingga menggelandang di jalanan.
Mensos juga memaparkan hasil asesmen para penghuni, yang di dalamnya berisi informasi komprehensif mengenai kondisi sebelum dibawa ke rusun, lama tinggal di Jakarta, status kependudukan, biaya hidup, hingga pendapatan.
Dari data tersebut, sebanyak 60 orang memiliki KTP DKI Jakarta, 17 orang memiliki KTP Non-DKI Jakarta, dan satu orang belum memiliki KTP.
Keputusan Kemensos disambut baik oleh berbagai pihak, baik oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) maupun Komisi VIII DPR RI.
Mensos Risma mengatakan program pemberdayaan PPKS di rusun Sentra Mulya Jaya Jakarta tidak sekedar memberikan pelatihan, namun berupaya memperbaiki kehidupan mereka.
“Kita latih supaya kehidupan mereka lebih baik, tidak membebani. Kita berharap tidak membebani siapapun, bahkan dirinya sendiri,” kata Mensos.
Beberapa item bantuan telah digelontorkan untuk penghuni rusun seperti lokasi kios berjualan makanan, motor roda tiga, lokasi usaha laundry, dan lain sebagainya.
Kegiatan para PPKS tersebut mendapat pengawasan dari pihak Kemensos yang terus melakukan monitoring usaha-usaha mereka. Dengan adanya rusun tersebut, kegiatan pemberdayaan jadi mudah pengawasannya.
Menurut Mensos Risma, hal tersebut lebih mudah dibandingkan memantau penerima manfaat yang tergabung dalam program PENA (Pahlawan Ekonomi Nusantara).
Dalam program PENA, Kemensos mengawasi perkembangan usaha penerima manfaat dari seluruh Indonesia, serta dilakukan monitoring rutin. Selain itu, Kemensos juga meluncurkan PENA TV sebagai wadah konsultasi penerima manfaat.
Mensos menegaskan, penghuni rusun tidak akan dapat membawa koleganya ke Jakarta, karena terdapat pengawasan ketat oleh pengurus rusun agar program pemberdayaan berjalan maksimal.
“Itu kan dipantau disitu, kalau ada yang tinggal (baru) disitu kita keluarkan keluarga asal maupun keluarga barunya,” ujar dia.
Pada kesempatan itu, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menekankan kontrol ketat pada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang tinggal di Rumah Susun Kementerian Sosial (Kemensos) Sentra Mulya Jaya, Jakarta.
“Jadi tetap harus ada kontrol, tetap harus ada,” ujar Mensos Risma ditemui dalam kunjungan kerjanya di Jakarta, Rabu (12/4).
Tanggapan Mensos Risma terkait dengan kekhawatiran Penanggung jawab (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono terhadap rusun yang terletak di Kompleks RPTC Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, yang bisa jadi magnet para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) dari luar daerah masuk ke Jakarta, dan untuk dibuatkan KTP menjadi warga DKI.
Mensos Risma menjelaskan dari total penghuni rusun Sentra Mulya Jaya sebanyak 78 KPM, 77 persen di antaranya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta.
Potensi tersebut pernah ditemui Mensos Risma saat menjadi Wali Kota Surabaya. Sebelumnya dia pernah menemukan warga Pulau Madura yang tinggal dan menetap di Jakarta selama puluhan tahun, namun masih dalam situasi pra-sejahtera.
“Nah teori perkotaannya gini, kalau pengangguran tinggi, kemiskinan tinggi, maka itu rawan untuk keamanan, kejahatan. Nah itu mudah sekali diprovokasi jika terjadi sesuatu,” ujar dia.
Namun pada saat itu dia tidak bisa melakukan intervensi langsung, sehingga ia menyarankan warga tersebut pindah ke Surabaya agar bisa dilakukan program pemberdayaan.(*)