Jakarta, Lampungnews.com-Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menutup forum R20 Internasional Summit of Religious Authorities (ISORA) 2023. Penutupan dilakukan dengan membacakan “R20 ISORA Call to Action”, semacam seruan aksi bersama untuk melakukan tindakan.
Gus Yahya, berharap bahwa apa yang dihasilkan dari Konferensi R20 ISORA akan menjadi suara yang mewakili aspirasi para peserta dan dapat didengar oleh banyak pihak.
“Kami, para pemuka agama, mempunyai kepentingan tersendiri agar wajah kami benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari sesama umat manusia yang ada di wilayah kami. Kami memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Gus Yahya dalam sesi penutup R20 ISORA di Hotel Park Hyatt, Jakarta, Senin (27/11/2023).
Mengamati gejolak dunia saat ini yang dipicu oleh pertentangan kepentingan ekonomi dan politik, Gus Yahya menyatakan pentingnya para pemuka agama untuk benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari umat manusia.
Berfokus pada tindakan nyata, Gus Yahya mengumumkan niatan Indonesia untuk menindaklanjuti hal ini dengan gerakan doa bersama lintas agama.
Dalam pembicaraannya dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), ia mengaku telah merinci gagasannya tentang inisiasi gerakan doa bersama yang melibatkan seluruh umat beragama di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa ide tersebut mencakup penyelenggaraan satu bulan doa, bukan hanya pada satu hari tertentu dan akan diikuti oleh umat beragama di sejumlah tempat di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah menciptakan gerakan bersama untuk meredakan gejolak dunia yang saat ini disebabkan oleh berbagai pertentangan kepentingan global.
“Jadi, idenya adalah mengadakan satu bulan doa bukan sekadar satu hari, yang diikuti oleh seluruh umat beragama di Indonesia yang diadakan di berbagai tempat di seluruh negeri,” jabarnya.
Adapun R20 ISORA Call to Action dalam rangka menjadikan agama sebagai sumber solusi global adalah sebagai berikut:
Mengingat otoritas agama mempunyai tanggung jawab moral dan spiritual untuk memastikan bahwa agama mereka masing-masing berfungsi sebagai sarana saling pengertian dan rekonsiliasi, dan bukannya melanggengkan siklus primordial kebencian, tirani, dan kekerasan yang berbasis identitas.
Mengingat konsensus internasional yang terkandung dalam Piagam PBB, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memberikan satu-satunya kerangka kerja yang ada saat ini dan dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik berbasis identitas – termasuk konflik yang terjadi antaragama, dan kekerasan yang dilakukan atas nama agama;
Bahwa kegagalan aktor-aktor global untuk menghormati dan menjunjung tinggi konsensus internasional pasca-Perang Dunia II sebagaimana tertuang dalam kerangka PBB dan UDHR merupakan penyebab utama ketidakstabilan dan konflik di seluruh dunia;
Bahwa otoritas agama – yang bertindak demi Tuhan dan kemanusiaan – harus bekerja sama secara gigih dan tegas untuk memvalidasi, melestarikan, dan memperkuat konsensus internasional pascaperang dan menuntut konsistensi dari semua pihak dalam penerapannya;
Meskipun upaya-upaya ini tidak cukup hanya terbatas pada seruan keagamaan tradisional saja; hal ini harus dilengkapi dengan strategi jangka panjang yang disengaja untuk memobilisasi kekuatan kolektif agama – termasuk dukungan orang-orang dari semua agama – dalam gerakan bersama untuk mencapai tujuan mulia ini;
KARENA ITU, kami mendesak otoritas agama dari setiap keyakinan dan negara untuk mengerahkan kekuatan dan pengaruh komunitas masing-masing agar berdampak pada kalangan pengambil keputusan; menghentikan konflik bersenjata yang terjadi di Timur Tengah, Eropa, Afrika Sub-Sahara, dan wilayah lain di dunia; dan mengembangkan mekanisme dialog dan negosiasi yang efektif yang dapat mengarah pada penyelesaian konflik secara damai.(*)