Bandarlampung, Lampungnews.com – Kajian Jurnalis Peduli Pemilu (KJPP) secara tegas menolak tambahan kursi di DPR RI karena dinilai tidak akan meningkatkan kinerja untuk perbaikan masyarakat, melainkan akan memboroskan anggaran mencapai Rp56 miliar per tahun.
Hal ini merespon pernyataan Indonesia Baget Center (IBC) pada Selasa, 30 Mei 2017, yang menilai bahwa hasil Rapat Pansus RUU Pemilu telah menyepakati penambahan 15 kursi baru untuk DPR RI menjadi 575 kursi dari usulan sebelumnya sebanyak 560 kursi.
“Alasan utama penambahan kursi DPR tersebut untuk pemerataan dapil tanpa melakukan redistribusi atau realokasi kursi dapil yang over representasi, ini adalah kesalahan sangat fatal,” kata Direktur Eksekutif KJPP, D Roy Wijaya, di Jakarta, Jumat (2/6) malam.
Sebelumnya, kata dia, IBC juga berpandangan sama bahwa keputusan Pansus dan Kemendagri yang setuju untuk menambah kuota kursi anggota DPR RI sebanyak 15 kursi adalah keputusan yang mengabaikan aspirasi masyarakat.
Keputusan tersebut lebih banyak mudaratnya dan terkesan lebih mengutamakan syahwat kekuasaan ketimbang memajukan demokrasi perwakilan. Berbagai riset dan kajian menunjukkan kinerja DPR berada dititik terendah dan minimnya akuntabilitas lembaga DPR.
Selain itu, peran politik anggaran tidak berjalan di rel yang semestinya dan kerap disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan ditandai dengan munculnya perilaku koruptif dikalangan anggota DPR dengan berbagai modus sehingga menyebabkan rendahnya kredibilitas DPR di mata masyarakat.
Oleh karena itu, kata Roy, penambahan kursi anggota DPR tidak punya korelasi terhadap meningkatnya kinerja DPR. Justeru malah sebaliknya, penambahan kursi justru memperumit proses pengambilan keputusan politik yang menyangkut hajat hidup rakyat di DPR dan hanya menambah angka pemborosan APBN untuk kebutuhan konsumtif.
Menurutnya, kajian ini penting untuk dibahas karena tidak menutup kemungkinan akan berimbas ke daerah dan terus meluas baik di tingkat DPRD provinsi/kab/kota. Sedangkan keterwakilan bila diasumsikan tidak akan sesuai dengan jumlah penduduk perdapil. Bahkan tambahan kursi ini hanya jadi rebutan partai partai besar dan persaingan ketat antar caleg tidak adil.
“Hal itu ditakutkan, terjadinya jual beli suara tanpa makna dan tanpa pemilih yang real. Masyarakat diharapkan bisa lebih jeli melihat fenomena curang Pansus RUU Pemilu DPR yg akan merugikan masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IBC, Roy Salam, mengatakan penambahan jumlah anggota DPR lebih banyak hanya menguras uang rakyat. Jumlah anggaran Negara yang dikeluarkan untuk 1 Anggota DPR mencapai Rp3,7 miliar pertahun, meliputi gaji dan tunjangan Rp694,73 juta/tahun, pengadaan tenaga ahli dan asisten sebanyak 5 orang Rp420 juta/tahun dan biaya uang muka untuk pembelian kendaraan pribadi Rp116,65 juta.
Selain itu, biaya kegiatan reses Rp2,36 milyar/tahun, biaya pengadaan dan operasional rumah aspirasi Rp150 juta/tahun. Anggaran tersebut belum termasuk atau menghitung biaya sarana dan prasana pendukung lainnya bagi anggota DPR baru yang akan menguras APBN, seperti biaya pembangunan rumah dinas baru dan perlengkapannya, biaya pembangunan ruang kerja anggota DPR baru dan perlengkapannya, serta biaya lain-lain. Anggaran untuk rapat-rapat alat kelengkapan dewan dan anggaran perjalanan dinas di dalam dan luar negeri DPR.
Jika dirata-ratakan, lanjutnya, penambahan sebanyak 15 Anggota DPR akan menyedot APBN sebesar Rp56 miliar/tahun. IBC pun menyayangkan, DPR menganggap anggaran Rp56 milyar/tahun dianggap remeh temeh, di tengah Presiden Jokowi sedang berupaya melakukan penghematan anggaran dan pengetatan belanja konsumtif.
Atas beberapa pertimbangan diatas, KJPP menyatakan sikap menolak penambahan kursi anggota DPR. Alangkah bijak, jika pemerintah dan DPR mempertahankan kembali jumlah anggota DPR saat ini (560 Kursi) dan menghitung kembali jumlah anggota perdapil secara adil dan proporsional melalui redistribusi kursi dari Dapil yang kelebihan kuota kursi (over representasi). IBC sangat menyayangkan pihak Pemerintah justru melemah dan ikut menari dalam irama politik yang ‘dimainkan’ anggota Pansus RUU Pemilu. (Cris)