Bandarlampung, Lampungnews.com – Manusia bukan penduduk asli bumi tetapi hewan dan tanaman. Sebab kakek moyang manusia Adam dan Siti Hawa bukan dari bumi tetapi berasak dari surga. Derajat manusia adalah khalifah, itulah makna yang disampaikan Ki Enthus dalam Wayangan semalam suntuk di Desa Simbawaringin, Trimurjo, Lampung Tengah, Sabtu, (19/8).
“Kita diberikan kekuasaan, kehidupan untuk berhubungan dengan manusia. Yang paling penting juga hubungan dengan alam,” kata Ki Enthus saat menerjemahkan wayang semalam suntuk.
Tegakkan Hablum Minallah Hablum Minannas. Saat ini kata Ki Enthus, manusia lebih banyak memikirkan diri sendiri. Semua orang pasti pernah melakukan dosa. “Namanya manusia tempatnya salah. Saat ini banyak pemimpin terlalu banyak omong dan cenderung membicarakan orang lain,” ujar Ki Enthus.
Dalam kesempatan itu juga Ki Enthus selalu mengajak warga Desa Simbawaringin dan sekitarnya untuk memilih Arinal Djunaidi. Dalang kondang asal Tegal dan merangkap Bupati ini juga kerap memberikan pujian terhadap sosok Arinal.
Wisanggeni berarti bisanya api. berasal dari wisa = bisa dan geni = api. Tak peduli siapapun pasti dibakarnya. Musuh atau sodara, teman atau tetangga, kriteriannya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran, dan kebatilan adalah musuhnya.
Sosok Wisanggeni inilah yang akan menjadi lakon dalam aksi wayang semalam suntuk bersama Arinal Djunaidi dengan dalang Ki Enthus Susmono di Lapangan Sepakbola Desa Sumberwaringin, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah, 19 Agustus 2017 malam.
Dikisahkan, kelahiran Wisanggeni dalam jagad pewayangan adalah diluar kehendak dewa. Sebab Wisanggeni adalah manusia edan dalam arti yang sebenarnya. Wong edan ngomong kebenaran bukan pada tempatnya. Wong edan tidak peduli suasana dan siapa yang dihadapi. Wong edan tidak mengenal takut. Dan keedanan Wisanggeni tidak lebih dari ketakutan para dewa akan tuah yang dibawa.
Dalam wiracarita Mahabharata, Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya seperti tujuh bidadari yang juga hamil karena sebagai anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.
Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut.
Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lautan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.
Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Bharatayuddha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai tumbal untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut.
Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi). (*/Davit)