Jakarta, Lampungnews.com – Hari Raya Idul Adha menjadi hari penuh makna pengorbanan secara harfiah bagi komunitas Muslim Rohingya. Sekitar 30 ribu orang Muslim Rohingya terpaksa melewati Idul Adha di tengah hutan belantara di Myanmar, sementara rangkaian kekerasan di kampung halaman mereka di Rakhine masih terus berkecamuk.
“Sekitar 30 ribu Rohingya terperangkap di hutan di dekat Rathedaung, Rakhine. Mereka berasal dari desa-desa terdekat dan kamp penampungan,” ujar Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win, melalui pernyataan resminya seperti dikutip dari CNNIndonesia.
BHRN melaporkan, mereka kabur dari Rakhine setelah pertikaian antara militer Myanmar dan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) kembali memanas sejak 25 Agustus lalu, ketika milisi tersebut menyerang 30 pos keamanan.
Sejak saat itu, pemerintah mengevakuasi warga di Rakhine. Namun menurut BHRN, hanya warga non-Muslim yang dievakuasi pemerintah, sementara Rohingya ditelantarkan hingga harus kabur tanpa arah yang jelas demi menyelamatkan nyawa.
“Warga Muslim yang tidak tahu apa-apa dengan serangan itu dibiarkan terlantar dan terperangkap di tengah konflik tanpa bantuan dan harus kabur dalam kesulitan,” tulis BHRN.
Sementara itu, pemerintah juga mempersulit akses wartawan ke daerah konflik tersebut sehingga publik tak dapat mengetahui gambaran nyata keadaan di Rakhine.
“Dalam sebuah insiden yang terkait dengan ketegangan ini, empat jurnalis Myanmar diserang di Maungdaw pada 29 Agustus sekitar pukul 14.00, meski jurnalis itu berhasil kabur,” tulis BHRN.
BHRN juga memperhatikan, pemerintah seakan ingin membentuk citra buruk Rohingya. Melalui pemberitaan-pemberitaan di media pemerintah, Myanmar menyebut ARSA sebagai kelompok teror.
Para korban dalam serangan yang dilancarkan ARSA pada Jumat lalu pun kerap disebut sebagai, “warga sipil tak bersalah yang tewas karena kebrutalan.”
“Bahasa itu menunjukkan pasukan keamanan sebagai warga sipil dan mengaitkannya dengan konsep barbarisme yang dilekatkan pada keseluruhan komunitas Rohingya. Tujuannya untuk menyulut amarah yang memicu kekerasan,” tulis BHRN.
Tak hanya melalui kantor berita, kampanye untuk mencoreng nama Rohingya juga digencarkan melalui jejaring sosial.
“Kampanye media sosial ini sangat mirip dengan kampanye propaganda jahat yang ada di berbagai penjuru dunia sebelumnya. Pemerintah harus mengambil tindakan cepat untuk meredakan ketegangan ini,” kata BHRN.
Di akhir pernyataannya, BHRN mengajak masyarakat internasional untuk memantau strategi pernyataan pemerintah Myanmar agar tidak lagi menyulut pertikaian.
“Masyarakat internasional harus memantau bagaimana pernyataan pemerintah menyulut situasi dan berupaya untuk menutupi kampanye tersebut agar dapat meningkatkan kekerasan yang berujung kematian dan perginya kelompok dan etnis tertentu,” tulis BHRN. (*)