Bandarlampung, Lampungnews.com – Terus terulangnya kekerasan terhadap pewarta dan para pelaku yang seperti jauh dari tangan hukum membuat para jurnalis rentan terhadap tindak kekerasan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung, Alian Setiadi mengatakan, hampir setiap tahun wartawan menjadi korban kekerasan. Mulai dari pelecehan, ancaman, hingga pelarangan liputan. Terus terulangnya kasus kekerasan terhadap profesi jurnalis ini karena hampir tidak ada pelaku kekerasan yang diproses secara hukum dan dikekanakan sanksi pidana. Padahal dalam UU Pers memungkinkan pelaku dijerat dengan pasal pidana.
“Ada praktik impunitas terhadap para pelaku, sehingga mereka pun leluasa untuk melakukan kekerasan dan pelecehan tanpa takut dijerat dengan pidana. Polisi juga kerap tidak memproses pelaporan kasus kekerasan terhadap jurnalis,” kata Alian dalam keterangan pers, Kamis (21/9).
Kekerasan terhadap insan pers ini sendiri akan menjadi tema diskusi yang ditaja oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung bersama LBH Bandarlampung dan LBH Pers. Diskusi bertajuk “Profesionalisme dan Kekerasan terhadap Jurnalis” ini akan digelar di Kantor LBH Bandar Lampung, Jalan MH Tamrin, Gotong Royong, Tanjungkarang Pusat, Jumat (22/9), pukul 14.00.
Diskusi akan menghadirkan pembicara Ketua Pusat Kejian Kebijakan Publik dan HAM Fakultas Hukum Universitas Lampung Dr. Tisnanta, Ahli Dewan Pers yang juga wartawan senior Oyos Saroso HN, dan Polda Lampung.
Alian menambahkan, hingga September 2017, ada dua kasus kekerasan terhadap wartawan yang pelakunya adalah aparat kepolisian. Kasus terakhir adalah kekerasan yang dilakukan oleh Kapolres Way Kanan AKBP Budi Asrul terhadap dua jurnalis yang sedang meliput aksi penolakan angkutan batu bara pada akhir Agustus lalu.
Ketua AJI Bandarlampung Padli Ramdan menerangkan profesi wartawan rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan. Agar terhindar dari pelecehan dan kekerasan pihak tertentu, jurnalis harus bekerja dengan standar profesionalisme yang tinggi, patuh pada kode etik jurnalistik, dan UU Pers.
Ia mengatakan dalam beberapa kasus, jurnalis justru menjadi pihak yang memicu terjadinya kekerasan. Untuk itu, wartawan harus tetap rendah hati dan mengedepankan kepentingan publik serta menjaga marwah profesinya. “Wartawan jangan hanya menuntut pihak lain agar profesional, kita juga harus lebih profesioanl dalam menjalankan profesi ini. Profesi ini akan semakin dihargai jika orang-orang yang bekerja di dalamnya menjalankan tugas dengan stadar etika yang baik,” kata dia.
Padli menambahkan, hanya wartawan profesional yang pantas serta berhak untuk dibela dan didukung jika menjadi korban kekerasan. Hal ini penting untuk menjaga agar tidak ada pihak yang menyalahgunakan profesi wartawan. Jurnalis tidak bisa berlindung dibalik UU pers jika mereka tidak menjalankan kode etik dengan baik.
Direktur LBH Pers Lampung Hanafi Sampurna mengungkapkan jurnalis bisa saja salah dan melakukan kekeliruan. Jika menemukan wartawan yang melanggar kode etik dan UU, pihak yang merasa dirugikan jangan menggunakan cara-cara melawan hukum dengan melakukan kekerasan. Gunakanlah mekanisme melalui hak jawab atau menyampaikan pengaduan kepada Dewan Pers.
Ia meminta aparat penegak hukum, terutama polisi, memahami UU pers dengan baik. Pemahaman akan UU penting sehingga tidak ada lagi kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan polisi. Dalam dua tahun terakhir, polisi dinilai sebagai musuh kebebasan pers karena menjadi pelaku kekerasan dan tidak menuntaskan sejumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis.
“Lewat diskusi ini kita semua berahap jurnalis dan penegak hukum semakin profesioanl dalam menjalankan tugasnya di lapangan. Publik akan merasakan menfaat yang besar jika jurnalis semakin profesional dan menerapkan kode etik dengan baik,” kata dia. (*)