Bandarlampung, Lampungnews.com – Organisasi pemerhati perempuan mengkritisi pemerintahan Presiden Joko Widodo karena program reforma agraria dianggap belum menyentuh persoalan perempuan sebagai subjek pemangku kepentingan dalam kebijakan.
“Komitmen Pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria belum nyata dirasakan perempuan. Perempuan belum dijadikan subyek pemangku kepentingan ataupun dilibatkan dalam perumusan kebijakannya.” kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan dalam dialog yang bertemakan Mendorong Pelaksanaan Reforma Agraria Berkeadilan Gender, Kamis, di BandarLampung.
Menurut Dewy, dalam perumusan kebijakan untuk pelaksanaan reforma agraria, pemerintah tidak melakukan analisis gender untuk program prioritasnya maupun mempertimbangkan situasi dan kepentingan perempuan.
Sehingga tidak ada keterlibatan kementerian pemberdayaan perempuan maupun organisasi pemerhati perempuan juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak melihat ada aspek perempuan dalam isu agraria.
Hal ini jelas bertentangan dengan kebijakan menjamin perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh hak atas tanah dan mendapat manfaat dari hasilnya. “Hal ini secara nyata dijamin oleh Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,” jelas Dewy.
Tak hanya itu, TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam juga menjamin prinsip keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria atau sumber daya alam.
Padahal perempuan selama ini mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah dan sumber agraria. Dalam pengelolaan lahan pertanian misalnya, perempuan berperan mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Sayangnya, peran produktif perempuan belum sepenuhnya diakui dan diperhitungkan.
Sementara menurut Emilia, dalam pengambilan keputusan pun, perempuan selalu terpinggirkan. “Perempuan selama ini tidak didengar, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” tutupnya.