Jakarta, Lampungnews.com-Sertifikasi halal tahap pertama salah satunya meliputi industri restoran bakal berakhir pada 17 Oktober 2024 mendatang. Oleh karena itu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menghimbau agar setiap restoran segera mengurus sertifikasi halal.
Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, diatur dengan penahapan di mana masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 Oktober 2024.
Direktur Utama LPPOM, Muti Arinwati menegaskan jika restoran – restoran itu tak mengurus sertifikasi halal maka pihaknya akan melayangkan surat teguran. Pasalnya sertifikasi halal telah diwajibkan kepada semua restoran di Tanah Air.
“Pasti akan mendapatkan teguran karena sudah wajib ya, karena mendapat keringanan untuk diperpanjang masa tegangnya itu hanya JPH dulu kalau UMK itu masih dikasih kesempatan sampai dua tahun lagi sampai 2026 tapi non UMK itu nanti di dua Minggu lagi,” terang Muti Arinwati dalam diskusi bertema ‘Jual Produk Non Halal Jasa Retailer Tetap Harus Disertifikasi Halal di kawasan Cipete, Jakarta Selatan Kamis (3/10/2024).
Muti mengatakan, kebijakan mensertifikasi halal terhadap restoran terbilang berat namun pihaknya bersama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama terus mewujudkan proses sertifikasi halal tersebut.
“Tentunya kerja berat bagi BPJH melakukan pengawasan dan tentunya ada proses penindakan, kebijakan untuk pelaku UMK yang belum bisa sertifikasi,” papar Muti.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. KH Asrorun Niam Sholeh mengakui bahwa sejauh ini proses pengawasan BPJH terhadap produk-produk masih terlalu lemah. Sehingga perlu edukasi terhadap masyarakat mengenai pemilihan produk-produk bersertifikasi halal.
Dia berpendapat adanya peran masyarakat dalam mengawal produk bersertifikasi halal tersebut maka proses sertifikasi halal produk tak terabaikan sedikitpun.
“Sistem JPH kemudian pengawasan masih lemah ya dari sistemnya dan RPP akan selalu muncul jadi masih terlalu lemah karena empat tahun sekali,” paparnya.
“Namanya produk makan itu sebagai edukasi dan diketahui misalnya jenis produk terus perubahan bahan. Itu yang saya pikir terus berkembang maka peran masyarakat sangat dibutuhkan juga dengan pengemasan produk halal,” lanjut Asrorun.
Sebelumnya, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI sempat meminta perpanjangan waktu pemberlakukan wajib sertifikasi halal bagi industri restoran. Total restoran memiliki sertifikasi halal baru mencapai 1% dari seluruh restoran yang ada di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, tantangan utama pemilik restoran dalam mengajukan sertifikasi halal adalah biaya. Biaya sertifikasi halal per menu sekitar Rp 15 juta, sedangkan satu restoran memiliki ratusan menu.
“Kalau proses sertifikasi halal seperti ini, agak rumit untuk melakukan hal tersebut. Kalau sertifikasi halal tidak diubah, biaya yang harus dikeluarkan akan luar biasa,” kata Maulana beberapa waktu lalu.
Maulana menyebut, sertifikasi halal oleh restoran sulit diraih karena semua aspek akan dinilai, termasuk bahan baku. Ia mengatakan, mayoritas restoran memasok bahan bakunya dari pasar tradisional yang notabenenya tidak memiliki sertifikasi halal.
Selain itu terdapat perbedaan persepsi terkait penyajian makanan dan minuman. Dia berpendapat hal tersebut membuat restoran yang menyajikan makanan halal dan minuman beralkohol sulit mendapatkan sertifikat halal.
“Proses kepemilikan sertifikat halal untuk restoran di dalam negeri masih cukup panjang. Kalau ditanya siap atau tidak menghadapi 17 Oktober 2024, jawabannya pasti belum siap,” kata Maulana.
Sebagaimana diketahui, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal mendata total Auditor Halal hingga akhir tahun lalu hanya 906 orang. Badan Pusat Statistik mendata, total restoran pada 2021 mencapai 8.042 unit.(*)