Bandarlampung, Lampungnews.com – Jaringan Advokasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) menggelar workshop perumusan kebijakan perlindungan PRT yang dititikberatkan pada konteks kerja layak bagi pekerja rumah tangga dan penghapusan pekerja rumah tangga anak.
Inisiatif perumusan instrumen kebijakan ini disambut baik oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Lampung yang menyadari kasus kekerasan terhadap PRT yang bekerja di ranah domestik semakin kompleks, sehingga butuh inovasi kebijakan yang tidak hanya melindungi hak PRT tapi juga pemberi kerja.
Direktur Lembaga Advokasi Perempuan Damar, Sely Fitriani, berharap melalui workshop ini diharapkan terjadi pertukaran informasi yang bermuara pada komitmen Pemprov Lampung agar hadir dalam melindungi warga negara.
“Walau pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang perlindungan pekerja rumah tangga, kebijakan tersebut belum secara konkrit dimplementasikan dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Juga belum mengatur jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dan kewajiban pekerja yang bekerja di sektor domestik/rumah tangga,” jelas Sely, di Hotel Emersia, Kamis (2/2).
Sependapat dengan Sely, Ikram Badila, akademisi FISIP UNILA mengatakan PRT sifat pekerjaannya memiliki kekhasan dalam relasi antara PRT-Pemberi Kerja, lingkup kerja dan tempatnya, masih menguatnya anggapan PRT sebagi pekerjaan non-ekonomis sehingga PRT ditempatkan pada posisi yang tidak layak dan jauh dari standar seorang pekerja.
“Ketiadaaan perlindungan dan pengakuan terhadap keberadaan sektor pekerjaan rumah tangga menjadikan PRT menjadi salah satu jenis kerja yang paling termarjinalkan dan berada dalam kondisi yang mudah untuk dijadikan obyek eksploitasi dan kekerasan,” paparnya.
Oleh karena itu, Ikram melanjutkan, melihat kondisi kehadiran negara yang masih minim dalam hal perlindungan PRT, maka solusi yang perlu dilakukan pemerintah Lampung adalah menerbitkan kebijakan lokal yang merealisasikan kerja layak bagi PRT dan melindungi hak pemberi kerja.
“Eksploitasi dan kekerasan yang dialami PRT diantaranya upah yang sangat rendah bahkan tidak dibayar, ditunda pembayarannya, pemotongan semena-mena, tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak, jam kerja yang panjang, nasib tergantung pada majikan, tidak ada hari libur mingguan/cuti,” tambahnya.
Sementara Jala PRT mencatat tahun 2012 ada 327 kasus kekerasan terhadap PRT, 2013 ada 336 kasus. Sementara, pada 2014, ditemukan 408 kasus dan 402 kasus di tahun 2015. Terakhir, hingga periode September 2016 terdapat 217 multi kasus yang berupa kekerasan, gaji tidak dibayar dan perdagangan orang.
Berdasarkan data ILO, 2004, hampir 2,6 juta orang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan lebih 111.000 diantaranya adalah pekerja rumah tangga anak, yaitu dibawah 18 tahun. Dan berdasarkan data DAMAR di bandarlampung ada 215 PRT.
Muhamad Nour, perwakilan ILO Jakarta sebagai lembaga perburuhan internasional mengungkapkan bahwa standar perlindungan PRT secara internasional telah dituangkan dalam Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, dimana poin-poin utamanya adalah pengaturan mengenai jam kerja layak, upah layak, perlindungan sosial, hak cuti dan kontrak kerja. (Davit)