
Pringsewu, Lampungnews.com – “Beberapa hari sebelum pembagian rapor, saya dipanggil ke sekolah. Saat itu wali kelasnya memberi tahu kalau anak saya tidak naik kelas,”
Ucapan bernada curahan hati itu diungkapkan Saroh, pekerja serabutan di Radio Sabaputra. Anaknya, Fahri tidak naik kelas lantaran belum bisa membaca. “Tapi nilainya bagus,” katanya.
Alhasil, Saroh pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk biaya les bagi anaknya. Sudah satu minggu Fahri ikut les tambahan usai pulang sekolah.
“Oh iya, minggu kemarin anak saya lesnya empat hari, jadi Rp16 ribu kan bu? Saya titip ke ibu aja ya bu,” katanya sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang ia genggam kepada orangtua dari guru les anaknya.
“Memang benar kalau anak saya belum lancar membaca. Itu alasan pihak sekolah gak menaikkan anak saya,” ucapnya lirih sambil mengusapi rambut sang anak, “Tapi, yang kelas 1 cuma anak saya yang gak naik.”
Ditemui di sebuah rumah belajar di Pringsewu Barat, Jumat (5/8). Sore itu tampak biasa. Wajah polos seorang anak kecil dengan tas di belakang punggung. Tak berseragam. Ia baru saja pulang dari ikut ibunya bekerja.
Lantaran belum mahir mambaca, bocah delapan tahun itu mesti dihukum lantaran tak bisa penuhi standar yang diwajibkan pihak sekolah. “Tapi, yang kelas 1 cuma anak saya yang gak naik,” katanya.
Nada yang janggal terdengar dari ucapan Saroh. Ini memantik pertanyaan, apakah hanya Fahri satu-satunya siswa yang tidak bisa membaca di sekolahnya?
Rupanya anak Saroh tak sendiri. Menurut pengakuan salah satu siswa di SD N 1 Pringsewu Barat, ada siswa lain yang mendapat hukuman sama. Salah seorang siswa kelas 5 di SD tersebut terpaksa harus tinggal kelas juga.
“Ada satu, gak naik kelas enam. Yang belum bisa baca banyak kok Oom, yang dari kelas satu,” kata salah seorang siswa.
Cukup mengherankan dan mengusik tanya, “Bagaimana standar yang diterapkan guru pada anak tidak bisa membaca, bisa membaca, lancar membaca, ataupun anak dengan mahir membaca?” Padahal, kemampuan calistung beberapa siswa lain tak jauh beda dengan siswa yang dipaksa tinggal kelas.
Ironi pendidikan di Bumi Jejama Secancanan, sebuah kabupaten yang digadang sebagai pilot project pendidikan di Provinsi Lampung. Tradisi tinggal kelas pun dianggap ampuh untuk mengukur kualitas pendidikan bagi anak. Mental bocah digembleng sejak dini, bakat-bakat alami mereka bahkan terbelenggu, dikekang dengan sistem pembenaran kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Rudy Dwi Kurniawan, seorang guru di salah satu SD swasta ini menilai, orientasi pendidikan anak mestinya pada minat dan bakat, serta pembangunan karakter anak. Sehingganya, kata dia, penyelarasan kebijakan pendidikan bagi anak usia dini dan pendidikan dasar pun menjadi keharusan.
“Di level pendidikan usia dini, pola fikir keliru mengukur keberhasilan anak dari kemampuan baca dan menghitung. Sehingga anak dipaksa untuk bisa baca dan berhitung. Di level pendidikan dasar, penilaian good karakter nya masih kurang,” kata pria yang juga aktif dalam kegiatan sosial dan anak ini.
Paradigma tujuan pendidikan yang konservatif, menjadikan kaum anak termarjinalkan oleh haknya mendapat pendidikan. Oleh sikap profesionalisme pendidik, sebab sistem pendidikan yang diterapkan. Proyek sertifikasi seolah menjadi urusan pribadi, tak ada kewajiban melakan inovasi dari kompetensi yang dimiliki.
Makin mencengangkan, saat Kepala Bidang PAUD dan Dikmas Dinas Pendidikan Pringsewu Suchairi Sibarani menyebut 1200an anak di tujuh kecamatan dari total sembilan kecamatan tidak bersekolah. Peningkatan fasilitas pendidikan anak menurutnya tidak melulu pada infrastrukturnya saja.
Yang mana, meskipun akses terhadap pendidikan untuk anak terbuka, nyatanya hambatan yang ada masih cukup tinggi. “Hak untuk merasa aman, nyaman, juga bermain bagi anak memperoleh pendidikan dasar,” katanya, “Dan ini tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, lembaga penyelenggara pendidikan, pendidik, tenaga pendidik, dan masyarakat.”
Dengan ikut belajar tambahan di luar sekolah, Saroh berharap anaknya bisa lancar membaca. Mampu mengejar ketertinggalan. Waktu bekerjanya yang hingga sore telah menyita banyak perhatiannya pada pendidikan sang anak. Terlebih suaminya, Turman, yang bekerja sebagai buruh bangunan.
Kini, Saroh mesti menyempatkan waktu di sela kerjanya agar bisa menjemput dan mengantar anaknya ke rumah belajar usai pulang sekolah. Meski jarak yang ditempuhnya cukup jauh, ia berharap langkah kakinya itu dapat merubah kebaikan pada sang anak. (Anton Nugroz)