Bandarlampung, Lampungnews.com – Dinas Perhubungan Bandarlampung nampaknya kesulitan menertibkan parkir liar di Pasar Tengah Tanjungkarang, yang selama ini dikeluhkan masyarakat. Karena adanya parkir liar ditambah penerapan parkir progresif membuat harga parkir di Pasar Tengah mahal.
“Sudah sering ditertibkan tapi mereka tetap muncul kembali. Bahkan pernah 11 orang diamankan saber pungli Polda Lampung,” ungkap Koordinator Parkir Pasar Simpur Andri, Kamis (28/8).
Untuk penarikan parkir dua kali di pintu keluar dan masuk Pasar Tengah yang juga dikeluhkan masyarakat menurutnya memang sudah menjadi ketentuan dari dishub. “Memang dua kali karena progresif, masuk di pintu masuk bayar Rp 2.500 untuk mobil dan di pintu keluar Rp 1.000 untuk satu jam pertama,” jelasnya.
Penerapan parkir progresif untuk Bandarlampung menurutnya diterapkan di Jalan Pangkal Pinang, Suprapto dan Pemuda. Untuk dirinya sendiri selaku korlap parkir Simpur diwajibkan menyetor retribusi Rp 3 juta Senin-Jumat, sedangkan untuk Sabtu Rp 2,4 juta dan Minggu Rp 2,7 juta. “Penerapan parkir progresif ini untuk mendongkrak PAD,” imbuhnya.
Disinggung dugaan adanya pengunaan karcis parkir bekas oleh oknum juru parkir, Andri berjanji akan menindaklanjuti hal tersebut. “Kalau dulu saya sempat menangkap ada oknum seperti itu tapi sudah diberhentikan. Nanti saya cek lagi, tidak boleh itu,” tandasnya.
Sebelumnya, sejumlah pengguna parkir dibuat marah akibat sistem parkir yang tidak beres. Seperti dialami oleh pengendara mobil, Rifki. Ia dibuat kesal atas prilaku petugas parkir yang diduga menggunakan lagi karcis parkir yang telah digunakan.
Indikasi ini terlihat disaat Sabnu, Jumat (22/9), bersama istrinya ke pasar melintasi Jalan Pangkal Pinang Tanjungkarang. Saat masuk parkir dikenai karcis Rp 2.500. Bagi dia nilai itu wajar, karenanya tidak mempermasalahkan. Yang menjadi tanda tanya bagi Sabnu, saat mau keluar di pos jaga karcis diminta lagi oleh petugas. Sabnu mencoba menyobek karcis parkir sedikit. Maksud Sabnu agar kertas parkir tidak dipakai lagi oleh oknum juru parkir. Karena parkir manual di Pasar Tengah ini tidak jelas kontrolnya.
Melihat karcis yang disobek oleh Sabnu petugas parkir bernama Zulfahmi yang tangannya memegang ratusan karcis parkir marah-marah tidak terima karcis parkir dirobek sedikit. Bahkan petugas Zulfahmi itu memaki-maki Sabnu dengan kata-kata yang kurang enak seperti mengatakan Sabnu orang yang tidak berpendidikan.
“Saya mendukung upaya Pak Walikota meningkatkan PAD dari sektor parkir. Tapi kalau sistem parkir seperti ini, bagaimana mengontrolnya. Dengan cara ini jelas ada indikasi manipulasi atau penyalahgunaan parkir. Karcis parkir yang sudah digunakan bisa dipakai lagi untuk parkir di pos parkir pintu masuk. Indikasinya, kenapa dirobek sedikit mereka marah,” ujar Sabnu kesal.
Berkaitan dengan kasus ini, Sabnu meminta Kadishub Bandarlampung Ibrahim agar meninjau kembali sistem parkir manual yang diterapkan di Pasar Tengah. Sebab, dengan sistem seperti ini sulit untuk mengontrol berapa kendaraan yang masuk ke lokasi parkir ini. Bisa jadi karcis yang tadinya sudah keluar 200 karcis dibuat laporan 150.
“Ini sangat memungkinkan terjadi. Disisi lain walikota ingin meningkatkan PAD parkir. Tapi ada praktek kecurangan di bawah. Ini yang harus dievaluasi dan bila perlu ditindak bila ada petugas yang memanipulasi data,” kata Sabnu.
Selain masalah karcis, petugas parkir di daerah ini, juga tidak malu-malu meminta biaya parkir dua kali kepada pengendara. Yaitu, saat di pos dan ketika ingin keluar dari area parkir.
“Nggak tahu nih, kenapa harus dua kali. Padahal di depan sudah bayar sekali, masak ditariki uang parkir lagi pas mau keluar. Sebenarnya gimana yang benar ini, kok malah balik lagi bayar dua kali,” ujar Narko, pengendara lain.
Ia pun mempertanyakan, tarif resmi parkir di daerah Simpur dan Pasar Tengah tersebut. “Kesel parkir pertama sudah diminta Rp 2.000 padahal di karcis tertulis cuma Rp 1.500. Lalu saat mau keluar, petugas parkir minta lagi uang Rp 2.000. Bukan masalah uangnya, tapi ya tarif itu harus jelas. Ini kan namanya menumbuhkan bibit-bibit pungli,” kata dia. (El Shinta)