Bandarlampung, Lampungnews.com – Pengamat politik menilai, tingginya partisipasi perempuan dalam perhelatan pilkada di Lampung berlatar belakang kegiatan keagamaan seperti majelis taklim. Pun dianggap mampu mendongkrak suara, model ini seharusnya tidak patut digunakan.
“Lima tahun belakangan ini bahwa ternyata majelis taklim dengan proyeksi suara perempuan efektif mendongkrak suara. Tapi, seharusnya kegiatan agama tidak untuk kampanye, harusnya secara formal kegiatan itu ya hanya untuk agama,” kata pengamat politik dari Universitas Lampung, Tony Wijaya, Selasa (12/9).
Lihat juga: Pilkada, DAMAR: Perempuan Jangan Mau ‘Cuma’ Dikasih Kerudung
Diketahui, pada pilkada serentak 2015 lalu di delapan kabupaten/kota, partisipasi perempuan jauh lebih banyak dibanding laki-laki, sekitar 5 – 7 persen lebih banyak. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari laman pilkada2015.kpu.go.id per kabupaten/kota, tercatat pemilih berjenis kelamin perempuan di tujuh kabupaten/kota lebih banyak dibanding laki-laki yakni di Bandar Lampung, Pesawaran, Pesisir Barat, Lampung Selatan, Lampung Timur, Metro, dan Lampung Tengah. Jika dirata-rata, paritisipasi perempuan dalam perhelatan politik lebih dari 60 persen dibanding laki-laki.
Tony menyebutkan, dari data itu bisa diketahui secara kasar bahwa memang fakta di lapangan perempuan lebih peduli dengan pilkada dibanding laki-laki.
Lihat juga: Perempuan dalam Pilkada, Partisipasi Banyak Tapi Tak Dianggap
Untuk itu, seharusnya fakta itu bisa menjadikan perempuan memiliki nilai jual yang tinggi, dengan catatan memiliki pendirian politik yang benar, tidak asal pilih dan tidak mengikuti acara-acara keagamaan yang terbungkus kampanye.
“Jangan mau ikut acara yang terbungkus dengan kampanye yang justru dimanfaatkan calon untuk memperoleh suara vote getter (pengumpul suara). Dan untuk perempuan berpolitik juga harus, meski negara maju juga lebih sedikit perempuan dibanding laki-laki, perempuan harus dilibatkan di posisi strategis, jangan saat acara-acara jelang pemilihan,” kata dia. (Davit)