Bandarlampung, Lampungnews.com – Polres Metro Jakarta Pusat menuai kritik lantaran menggerebek spa gay hanya berpatokan dengan UU Pornografi. Kritikus menganggap tidak ada korban yang melapor.
Pegiat lembaga Human Rights Watch, Andreas Harsono menilai ada semacam pola aksi diskriminatif kepolisian terhadap kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender di Indonesia.
“Jika mereka menggerebek (spa) karena mereka gay, itu jelas penyalahgunaan wewenang. Karena jika tidak ada korban, tidak ada kejahatan,” tegas Andreas seperti dilansir dari BBC Indonesia.
UU Pornografi yang menjadi acuan kepolisian menggerebek spa itu, kata Andreas, bermasalah dan polisi menyadari bahwa undang-undang pornografi yang kabur dan diskriminatif bisa digunakan untuk menargetkan kaum minoritas yang rentan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1a Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang.
Adapun yang dimaksud dengan persenggamaan yang menyimpang “antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.”
Diketahui, Polres Metro Jakarta Pusat menggerebek sebuah spa di Jakarta Pusat, yang diduga dijadikan tempat prostitusi kaum gay pada Jumat (6/10) malam.
Dalam penggerebekan itu, sedikitnya 51 orang ditangkap, tujuh di antara mereka merupakan warga negara asing.
Polisi menetapkan enam orang sebagai tersangka, yang mencakup pemilik, pengelola, hingga pegawai. Namun, hanya lima yang ditahan, sedangkan seorang pengelola masuk daftar pencarian orang. (*)