Bandarlampung, Lampungnews.com – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) dinilai disenangi masyarakat karena sering memberikan sepeda sebagai hadiah dalam beberapa kali kesempatan.
Pernyataan bernada satire itu dilontarkan anggota Komisi III DPR fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil usai menjadi pembicara di acara diskusi berjudul Evaluasi 3 Tahun Pemerintahan Jokowi di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (6/10).
“Itulah kelebihannya. Suka kasih pertanyaan kemudian kasih sepeda kemudian yang lain-lainnya,” kata Nasir seperti dilansir dari CNN Indonesia.
Nasir menilai Jokowi pintar meraih simpati masyarakat dengan sikap-sikap yang notabene kurang cocok jika dilakukan oleh seorang presiden. Misalnya, kata Nasir, ketika Jokowi tidak sungkan makan di warung tegal (warteg).
Selain itu, keputusan Jokowi berjalan kaki menuju acara HUT TNI 5 Oktober lalu di Cilegon, Jawa Barat juga dinilai mengundang pujian dari masyarakat.
Mengenai kinerja secara keseluruhan, Nasir tidak ingin memuji pemerintahan Jokowi. Menurutnya, Jokowi menjalankan roda pemerintahan yang tidak sesuai dengan Nawacita seperti yang digaungkan saat kampanye 2014.
Nasir mengkritik keras keputusan Jokowi yang mengandalkan utang luar negeri untuk membangun infrastruktur di berbagai wilayah. Menurutnya Jokowi lebih suka tunduk kepada kepentingan asing di balik upayanya membangun Indonesia.
“Jadi negara ini ya enggak bisa melawan komprador-komprador, tuan-tuan kapitalis, tuan-tuan korporis, setan kota, setan desa. Saya lihat utang ini memang membuat beban,” kata Nasir.
Nasir juga menilai Jokowi tidak serius menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Dia menduga mandeknya penuntasan kasus-kasus tersebut dikarenakan pelakunya berada dalam lingkaran pemerintahan. Oleh karena itu, alur penyelesaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Makanya, Presiden Jokowi ‘tersandera’ orang tersebut,” kata Nasir.
Nasir lalu menyoroti kegaduhan politik di tingkat nasional. Dia menganggap kegaduhan tersebut terjadi karena Jokowi bukan pemimpin suatu partai politik. Apabila Jokowi memiliki kuasa yang besar atas partai politik pengusungnya, maka potensi terjadinya kegaduhan politik sangat kecil.
Nasir berharap Pilpres 2019 nanti menghasilkan tokoh yang menjabat sebagai pemimpin partai politik. Menurutnya, hal itu penting dalam rangka menjaga stabilitas politik di tingkat nasional, sehingga pemerintahan dapat berjalan secara optimal.
“Kalau sekarang bukan pemimpin partai jadi dia tidak bisa mengendalikan situasi politik yang ada. Makanya politik ini gaduh,” kata Nasir. (*)