Bandarlampung, Lampungnews.com — Undang-undang MD3 resmi mulai diberlakukan hari ini setelah 30 hari ditetapkan dalam rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018.
Pengesahan revisi UU ini dinilai kontroversial, salah satunya karena pasal mengenai pengkritik DPR bisa dipidana. Hal itu dinilai sebagai upaya wakil rakyat membentuk imunitas dari kritikan rakyat.
Koalisi Masyarakat Tolak UU MD3 membuat petisi untuk mendesak Presiden Jokowi bersikap tegas menolak UU itu, tidak hanya tidak menandatangani, melainkan mengambil tindakan nyata karena UU tersebut tetap berlaku meski ditandatangani atau tidak ditandatangani Presiden.
Mereka meminta agar Jokowi segera menerbitkan Perppu atas UU MD3 ini.
Hingga Kamis (15/3) malam pukul 22.00 malam, sekitar 206 ribu orang telah menandatangani petisi tersebut.
Petisi ini didukung oleh Masyarakat Sipil untuk UU MD3 , Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan FITRA)
Bagi yang ingin menandatangi petisi kunjungi halaman petisi ini
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandi mengatakan, sadar tidak sadar dengan diberlakukanya UU ini akan memberi ruang dan jarak antara anggota DPR sendiri dengan konstituennya.
“Ini yang sebenarnya menjadi sebuah sinyal relasi antara DPR dan konstituen sebenarnya semakin ada jarak. Satu sisi UU MD3 merupakan penurunan demokrasi dan melahirkan jarak dengan masyarakat, karena penggunaan imunitas diperluas tanpa diberangi dengan mekanisme uji obyektivitas keabsahahan imunitas itu sendiri,” kata Ronald, dikutip dari kumparan.com
Padahal, jika melihat peraturan yang ada soal mengkritik dan menghina pejabat negara, Ronald mengatakan sudah ada payung hukumnya yang tertuang dalam KUHP. Sehingga, Ronald menilai pasal yang ada dalam UU MD3 terkesan terlalu diperluas untuk imunitas DPR sendiri.
“Perlu kita ketahui, di KUHP kita sebenarnya sudah diatur soal pasal penghinaan terhadap pejabat negara. Jadi terkesan kebijakan ini sebenarnya memperluas atau mempertebal tameng atau imunitas DPR itu sendiri,” tuturnya. (*)