Jakarta, Lampungnews.com — Pemerintah pesimis megaproyek 35 ribu Megawatt (MW) tercapai seluruhnya pada tahun 2019 mendatang. Pasalnya, hitung punya hitung, mengacu pembangkit yang memasuki masa operasi (commercial operating date/COD), penyediaan listrik yang bisa dihasilkan cuma 19.763 MW atau sekitar 55,47 persen dari target awal pemerintah.
Rinaldy Dalimi, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Unsur Pemangku Kepentingan (UPK) mengatakan, hitung-hitungan itu diambil dari jumlah proyek pembangkit yang telah memasuki masa kewajiban pembiayaan (financial closing) hingga akhir tahun 2016.
“Total financial closing dari proyek 35 ribu MW hingga akhir tahun diperkirakan 19.700 MW. Dengan asumsi pengerjaan pembangkit selama 36 bulan, maka optimisnya tahun 2019 adalah sebesar itu. Sehingga, sudah dipastikan, tidak mungkin 35 ribu MW bisa tercapai,” ujarnya, Senin (14/11).
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) juga mengklaim belum menerima data lokasi-lokasi pembangkit yang dimaksud PLN.
“Calon-calon pembangkit itu katanya belum terdaftar di Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kementerian ATR. Kami juga belum bisa identifikasi kapasitasnya berapa. Namun, pembangkit-pembangkit itu belum tentu bagian dari proyek 35 MW. Bisa jadi masih bagian dari Fast Track Programme (FTP) I dan II,” terang Rinaldy.
Kendati demikian, ia mengaku tak khawatir apabila nanti rasio elektrifikasi terganggu proyek 35 ribu MW yang tak terealisasi sepenuhnya. Toh, asumsi pertumbuhan ekonomi yang digunakan saat ini tak sesuai dengan kondisi aktual. Jika pertumbuhan ekonomi tak sejalan dengan asumsi, berati ada perubahan juga di dalam pertumbuhan konsumsi listrik nasional.
Sejak awal dicanangkan, asumsi pertumbuhan ekonomi yang digunakan di dalam proyek 35 ribu MW adalah sebesar 8 persen di tahun 2019. Namun, berkaca pada realisasi pertumbuhan ekonomi hingga saat ini, pemerintah kemungkinan akan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen.
Itu artinya, pertumbuhan konsumsi listrik di tahun 2019 mendatang kemungkinan akan lebih kecil dibandingkan asumsi awal, yakni 10 persen. Sehingga, pembangkit baru berkapasitas 19.700 MW ini dianggap masih bisa mengakomodasi pertumbuhan konsumsi listrik yang lebih lamban.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi sebesar 97,35 persen di tahun 2019. Hingga Oktober 2016, rasio elektrifikasi Indonesia tercatat baru 88,3 persen.
“Memang, rasio elektrifikasi pasti meningkat. Tapi ya mungkin tidak sesuai harapan kalau hanya 19 Gigawatt (GW). Kami juga tak tahu nanti rasio elektrifikasi bisa jadi berapa, karena pertumbuhan konsumsi listrik di masing-masing pulau di Indonesia kan berbeda-beda,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, sebagian besar pembangkit listrik dibangun di Jawa dan Sumatera, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia bertumpu pada dua pulau tersebut. Dengan adanya pembangkit baru ini, diharapkan cadangan daya (reserve margin) listrik masih tetap aman di pulau Jawa dan Sumatera, dengan perkiraan di angka 30 persen dari beban puncak.
“Makanya, sebagian besar dari proyek 35 ribu MW yang masuk di 2019 berlokasi di Jawa dan Sumatera. Demi menjaga pertumbuhan ekonomi 6 persen,” imbuh Rinaldy.