Bandarlampung, Lampungnews.com – Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi(LMND) Lampung menggelar aksi penolakan PT. Freeport Indonesia (PTFI) bercokol di Indonesia.
Aksi Penolakan PTFI digelar di Tugu Unila selama tiga hari, Senin – Rabu, (20-22 Maret), di dalam aksi tersebut LMND akan mengadakan Diskusi Terbuka menghadirkan aktivis dan akademisi, Panggung seni kerakyatan, konsolidasi dan Penggalangan Cap Kaki sebagai simbol pengusiran Freeport dari NKRI.
“Dalam aksi ini tuntutan kami adalah menolak perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia, menasionalisasi aset asing, menegakkan pasal 33 UUD 1945, membangun Industri Nasional, memperkuat persatuan dan keamanan nasional melawan ancaman freeport serta kembali kepada Pancasila dan Trisakti,” kata Rismayanti Borthon, Direktur Eksekutif LMND Lampung, Senin (20/3).
LMND menilai Selama 50 tahun PTFI bercokol di Indonesia belum memberikan sumbangsih berarti terhadap negara. Bukan hanya pendapatan untuk negara yang kecil, yaitu Rp1 triliun rupiah per tahun, tetapi PTFI juga menyumbangkan berbagai permasalahan di Indonesia.
“Dari mulai eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam, hingga konflik horizontal di masyarakat,” jelas dia.
Selain itu Freeport juga pernah mengancam akan memulangkan (PHK) puluhan ribu karyawan WNI serta berulang kali menyampaikan bahwa jika Freeport keluar dari Papua, maka akan terjadi gejolak sosial di daerah tersebut, yakni konflik antar suku.
“Ini bukti tingkah sewenang PTFI terhadap kedaulatan bangsa. Untuk itu pemerintah sudah seharusnya kembali pada jalan Pancasila dan Trisakti Serta menegakkan pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai negara dan di pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tegas mahasiswa Unila itu.
Untuk diketahui awal tahun ini pemerintah menerbitkan PP No. 1 tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang mewajibkan PT. Freeport mendivestasikan 51 persen sahamnya untuk negara, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, serta perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus.
Namun kebijakan tersebut ditolak oleh perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut, dengan alasan pemerintah telah melanggar kontrak sebelumnya yang hanya berkewajiban memberikan 30 persen saham. Serta PT. Freeport tidak bersedia menerima kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus dan menolak membangun smelter karena tidak ada kepastian jangka panjang investasi. Bahkan PT. Freeport mengancam untuk menggugat pemerintah ke pengadilan abitrase internasional. (Davit).