Bandarlampung, Lampungnews.com – Berdasarkan data dari gelar perkara di Polresta Bandarlampung dan Polda Lampung, dalam kurun waktu empat bulan terakhir, tidak kurang dari belasan pelaku kejahatan telah tewas tertembus peluru tajam polisi saat melakukan penangkapan, baik pembegal maupun pengedar narkoba.
Dari sekian banyak kasus tembak mati ada dua kasus menonjol yang menjadi sorotan, yakni penembakan lima begal asal Jabung Lampung Timur dan tiga bandar narkoba di Jatiagung, Lampung Selatan.
Masalah ini kemudian menjadi sorotan berbagai pihak, selain dinilai telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) tugas polisi pun terkesan bergeser dari tugas pokoknya sebagai pengayom masyarakat.
Tembak Mati Begal dan Bandar Narkoba
Awal bulan lalu, Sabtu (1/4) dini hari, Tim Ranger Tekab 308 Satreskrim Polresta Bandarlampung menembak mati lima terduga begal asal Jabung, Lampung Timur di jembatan layang Srengsem Kecamatan Panjang.
Proses penangkapan itu mengundang kontroversi, karena, menurut pihak keluarga kematian mereka penuh kejanggalan, melihat latar belakang korban dan kematiannya sangat tradis dan menyedihkan bagi mereka.
Lebih menyakitkan lagi, lima jasad begal menjadi objek foto bersama oleh 13 anggota kepolisian. Dalam foto itu, para jasad begal tergeletak di depan para petugas yang kemudian menjadi viral dan mendapat kecaman masyarakat.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun turun ke Lampung untuk mengusut masalah itu dan memberikan sangsi kepada anggotanya yang telah melakukan pelanggaran.
Nurhalimah (60) orangtua dari salah satu terduga bernama Saparudin (20) mengatakan, anaknya terkena tembakan yang mengakibatkan tujuh lubang di punggung dan dada.
“Saya tahu saat saya sedang memandikan anak saya. Bahwa punggung belakang ada lima tembakan dan dada ada dua tembakan. Selain itu, anak saya juga mengalami pecah di pelipis,” katanya.
Kemudian, terduga pelaku bernama Herman Efendi (18) ditembak sebanyak sembilan kali (tiga di punggung dan enam di dada), jari kelingking Herman pun nyarus putus. Lalu, Yogi Yudistira (20) terkena tembakan sebanyak dua kali di mata dan paha. Yogi juga mengalami patah kaki dan leher.
Terduga lainnya, Indra Saputra (18) ditembak sebanyak tujuh kali (enam di dada dan satu di tangan), dan Riko Aditnuryadi (17) ditembak tiga kali di bahu, dada, dan perut.
Kini, pihak kepolisian kembali menjadi sorotan, bahkan melibatkan jajaran di level lebih tinggi. Atas kasus penangkapan tiga bandar narkoba di Kecamatan Jatimulyo, Kabupaten Lampung Selatan.
Jajaran Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung. menembak mati tiga tersangka bandar narkoba, yaitu Afrizal (30), Ridho Aures (23) warga Sepang Jaya, Kedaton dan Faisal (27) warga Jalan P Damar, Sukarame, Bandarlampung.
Kapolda Lampung Irjen Sudjarno menjelaskan, penangkapan ketiga pelaku berawal dari pengiriman melalui ekspidisi Indah Kargo.
“Kami bekerja sama kepada pihak ekspedisi di Bandarlampung. Jadi pihak ekspedisi melaporkan kepada kami bahwa ada barang yang mencurigakan kiriman dari Aceh,” jelasnya.
Saat mendatangi ekspedisi, kemudian pihaknya melakukan kontrol delivery dengan berpura-pura menjadi pegawai Indah Kargo dan menggiring barang sampai kepada alamat yang dituju.
“Saat melakukan kontrol delivery semua pegawai adalah kita dengan berpakaian Indah Kargo. Sampai disana (Jatimulyo) barang diturunkan dan diambil oleh mereka bertiga,” jelasnya.
Saat barang yang diturunkan dan diambil oleh mereka bertiga, kemudian tim dari Direktorat Reserse Narkoba Polda Lampung, langsung menggerbek dan mengepung ketiga pelaku.
“Mereka mempunyai senpi sehingga terjadi baku tembak sambil mereka mundur. Kami sudah kepung jadi dimanapun mereka lari berhadapan sama. Sehingga, kami langsung mengambil tindak tegas terhadap pelaku,” ungkapnya.
Dari penangkapan ketiga pelaku, polisi berhasil menyita barang bukti berupa ganja sebanyak 170 kilogram dan sabu-sabu sebanyak 600 gram.
Pembohongan Publik
Kepala Divisi Hak-hak Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung, Muhammad Ilyas, merilis dalam gelar perkara itu ada beberapa keterangan yang disangkal oleh pihak keluarga dan masyarakat.
Penangkapan tersebut berdasarkan fakta di lapangan, ketiga pelaku tidak melakukan perlawanan. Saat dibawa diborgol tangannya namun saat pulang sudah dalam kondisi meninggal dunia.
“Keluarga mendapat kabar korban sudah meninggal dunia dengan banyak luka tembak dan luka lebam akibat disiksa lebih dulu,” katanya.
Sementara itu, keluarga tersangka yang tewas itu memprotes tidak terima tindakan yang dianggap semena-mena anggota kepolisian tersebut karena kematian anak-anaknya itu dianggap banyak kejanggalan.
Relly Regen, paman dari salah satu tersangka bernama Ridho Aures menyatakan, pengungkapan kasus narkoba beberapa hari lalu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
“Ini tidak benar, karena saat dibawa mereka dalam keadaan masih hidup. Saat mendengar kabar, mereka dinyatakan telah meninggal dunia akibat melakukan perlawanan,” jelasnya.
Ia menambahkan, pihaknya akan melaporkan peristiwa tersebut ke Propam Mabes Polri untuk diusut sesuai dengan prosedur yang berlaku di kepolisian.
“Kami akan melaporkan kasus ini ke Mabes Polri,” tegasnya.
Menanggapi itu, Direktur Reserse Narkoba Polda Lampung Kombes Abrar Tuntalanai, mengatakan, pihaknya sudah bertindak sesuai dengan prosedur.
“Saat dilakukan penangkapan ketiganya membawa senjata api, sehingga petugas mengambil tindakan tegas,” kata Abrar.
Abrar mempersilahkan, jika pihak keluarga tersangka ingin melaporkan peristiwa ini ke Mabes Polri. Namun, Abrar memastikan pihaknya tidak akan melakukan tindakan tegas jika tidak dilandasi dengan alasan yang tepat.
“Kami tidak ada niat membunuh. Silahkan jika pihak keluarga ingin melapor ke Mabes Polri,” ujarnya.
Tembak Mati Adalah Pelanggaran HAM?
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandarlampung, Alian Setiadi , di Bandarlampung, Kamis (16/3) menegaskan, penembakan mati terhadap pelaku tindak kejahatan oleh kepolisan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Alian, tindakan polisi dalam memberantas narkoba bukan hanya menangkap pengedarnya saja.
“Tapi sindikat peredaran narkobanya, bandarnya, bahkan pabriknya juga jika pembuatan narkoba tersebut ada di Lampung,” ujarnya.
Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) negara hukum. Jika bicara hukum, paparnya, seseorang yang bersalah itu harus diadili dipersidangan bukan ditembak mati oleh kepolisian.
Kapolda Lampung Irjen Pol Sudjarno beberapa bulan lalu memerintahkan anggotanya menembak mati pengedar narkoba jika melawan. Menurut Alian, hal itu tidak dibenarkan jika merujuk HAM.
“Jika ditembak mati apakah selesai kasus itu. Apakah ada jaminannya bandar-bandar selanjutnya tidak mengedarkan narkoba lagi?” ujar Alian lagi.
Menurut Alian, akar persoalan peredaran narkoba tidak pernah terpecahkan. Misalnya seseorang jadi jahat itu karena ekonomi ataukah ada hal-hal yang lainnya.
“Itu yang harus dibongkar. Bukan membunuh orang langsung berhenti tindak pidananya,” katanya.
Sementara itu, DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Lampung sepakat dengan tembak mati bagi sindikat narkoba, mulai dari pengedar sampai produsen.
Ketua DPD Granat Lampung, Tony Eka Candra mengapresiasi langkah tegas yang dilakukan Kapolda Lampung Irjen Pol Sudjarno dalam memberantas peredaran gelap narkoba di Lampung.
“Tembak mati kepada siapapun oknum yang melindunginya tanpa pandang bulu. Karena, kejahatan narkoba adalah musuh bangsa dan musuh negara sekaligus musuh umat manusia. Penjahat narkoba adalah mereka para penghianat Bangsa. Oleh karena itu tindakan tegas ini perlu dilakukan,” jelas dia, Senin (13/4).
Tindakan ini semata-mata demi melindungi generasi anak bangsa. Seharusnya pemerintah mengambil contoh yang baik dan luar biasa dari Filipina.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte dengan tegas memerintahkan “tembak mati” sindikat, bandar dan pengedar narkoba tanpa pandang bulu.
“Termasuk tembak mati oknum pejabat atau oknum aparat atau siapapun juga yang melindunginya,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Lampung ini.
Tony menilai, langkah Presiden Filipina dalam memberantas narkoba di negaranya sangat tepat.
“Dapat dilihat hasilnya sangat luar biasa, lebih dari 7 ribu orang penjahat narkoba ditembak mati. Lebih dari 500 ribu orang penjahat dan sindikat, bandar, pengedar serta pecandu dan pengguna narkoba, termasuk oknum pejabat dan oknum aparat pemerintah Filipina yang terlibat kejahatan narkoba menyerah dan menyerahkan diri untuk rehabilitasi karena takut ditembak mati,” tambahnya.
Cara itu bisa ditiru oleh Indonesia dalam memberantas peredaran gelap narkoba. Sikap Granat sangat jelas agar aparat kepolisian bertindak tegas terhadap penjahat, bandar, pengedar, serta sindikat dan mafia narkoba dengan menembak mati.
“Termasuk bertindak tegas jika ada oknum aparat dan oknum pejabat yang melindungi kejahatan narkoba,” kata dia. (Adam & Davit).
Penulis Pumpunan : Cris Ali