Lampungnews.com – Akhir pekan lalu, Sabtu (26/8), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso mengundang wartawan untuk ngopi bersama di kediamannya, Kompleks TNI AD Bulak Rantai Blok G No 86 Kramat Jati, Jakarta Timur. Di hadapan wartawan, Budi Waseso blak-blakan cerita pengalamannya dalam upaya memberantas narkoba di Indonesia. Banyak hal diceritakan.
Pertama soal uang suap. Dengan uang banyak, para bandar narkotika kerap menawarkan uang suap kepada petugas yang menangkapnya. Budi Waseso pernah mengalami saat mengungkap kasus bandar sabu di Medan. Anak buahnya ditawari Rp 10 miliar dari bandar sabu yang diamankan dengan barang bukti 17 kg sabu di Bengkayang, Kalimantan Barat pada Minggu (6/8).
“Dia memakai perhiasan kalung, barang-barang yang bermerek, yang nilai besar. Jadi kalau ditangkap oleh anggota saya, langsung dia (berikan). ‘Sudah ini aja deh, biar selesai’,” kata Waseso, dikutip dari merdeka.com.
Bandar juga mengantongi uang tunai cukup besar untuk memperdaya, memengaruhi petugas yang menangkap mereka. Beberapa kali anak buahnya mencoba disuap. Termasuk percobaan suap ke dirinya. Namun dia menyebut cara itu tidak berhasil. Waseso enggan menyebutkan berapa tawaran uang yang pernah diterimanya.
“Termasuk diri saya juga disuap tidak berhasil. Oh banyak sekali dekati saya, banyak. Ditawari macam-macam juga banyak, tapi saya kan komit, itulah integritas yang harus terbangun. Maka tugas di BNN ini tugas sangat mulia, dan orang-orang yang harus punya integritas dan komitmen yang kuat,” terang Waseso.
Kedua, Waseso cerita soal teror terhadapnya. Bahkan dia pun menyebutkan jika ada yang menginginkan dirinya cepat selesai dalam menjalani tugasnya sebagai Kepala BNN. Dia juga yakin banyak yang menghendaki dia dicopot dari jabatannya. Bahkan bisa jadi mereka mendoakan yang terburuk untuknya.
“Kalau bisa dibunuh ya dibunuh, juga bisa dijebak dengan segala hal. Itu wajar, itu konsekuensi, petugas seperti saya,” terang Budi.
Ketiga, soal praktik jual beli rekomendasi rehabilitasi untuk pecandu narkoba. Bisnis rehabilitasi diakuinya sudah terjadi sejak lama. “Ya dulu iya, dan masa lalu iya, jadi ajang bisnis iya.”
Dia membeberkan praktik nakal jual beli rekomendasi rehabilitasi. Jika pecandu ingin mendapatkan rekomendasi, mereka dipalak uang dalam jumlah besar. Tujuannya, dengan rehabilitasi maka pecandu akan terbebas dari konsekuensi pidana. Dia geram dengan permainan ini.
“Saya sudah direhab, atau saya sedang di rehab, maka tidak bisa ditangkap itu kan permainan, nah maka undang-undang juga harus dibenahi, regulasi harus diperbaiki juga. Regulasi-regulasi harus dibangun itu yang disebut,” tambahnya.
Menurutnya, dosa besar jika rekomendasi rehabilitasi pecandu narkoba dijadikan ladang bisnis. Apalagi ini berkaitan dengan nyawa manusia. “Kalau nyawa dipakai bisnis, dosa besar. Maka saya tidak mau itu.”
Keempat, mantan Kabareskrim ini bicara soal peredaran narkoba yang sudah sangat mengkhawatirkan. Peredaran narkoba bisa terjadi di mana saja, termasuk di kompleks TNI yang jadi kediamannya saat ini.
“Ini komplek TNI, apakah di sini tidak ada penyalahgunaan? Ada. Apakah di sini tidak ada peredaran? Ada. Saya berani mengakui itu karena ada. Kenapa di kompleks sendiri tidak terbangun kesadaran untuk terbebas dari peredaran narkotika?”
Dia punya pekerjaan rumah besar dalam pemberantasan narkoba di tanah air. Namun dia menyiratkan belum tumbuhnya kesadaran bersama dalam memerangi narkoba. Padahal Presiden Joko Widodo bersemangat dalam pemberantasan narkoba.
“Kalau tidak dibantu seluruh kementerian, lembaga, dan elemen bangsa ini, maka perintah presiden tidak bisa terlaksana. Tidak ada hasil yang maksimal,” imbuhnya.
Dia menyebut beberapa pihak yang dinilai gencar dalam pemberantasan peredaran narkoba adalah BNN, Kepolisian, Bea Cukai, dibantu beberapa TNI, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri. “Terus yang lainnya mana, bahwa itu menganggap tidak tugasnya, padahal ini masalah bangsa, nasional, masalah negara kita,” tegas mantan Kapolda Gorontalo ini.
Dari kondisi itulah, Waseso mengakui muncul ucapan dia merasa lelah karena tak didukung komitmen dari elemen seluruh bangsa.
“Pasti capek kita karena tak imbang. Sekarang seperti kita pahami dari kualitas, kita sudah tidak memadai. Kualitas personelnya, kuantitas personel kita tak memadai, sangat tidak memadai, begitu kita bicara sarana prasarana jauh dari harapan. Nah terus kita hadapi narkotika yang begitu hebat luar biasa, mana mungkin gitu,” keluh Waseso.(*)