
Lampungnews.com – Pemerintah Myanmar mengevakuasi sedikitnya 4.000 penduduk nonmuslim dan staf pemerintah dari lokasi bentrokan bersenjata antara kelompok pemberontak Rohingya dan pasukan militer Myanmar di barat daya Rakhine.
Bersamaan dengan itu, sekitar 2.000 warga muslim Rohingya telah melarikan diri ke arah perbatasan Bangladesh, menghindari pertempuran yang terburuk sejak Oktober tahun lalu.
Menurut Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Win Myat Aye, pihaknya telah menyiapkan tempat tinggal bagi mereka yang dievakuasi seperti biara Buddha, gedung pemerintah, dan kantor polisi di kota-kota besar di Myanmar.
“Kami bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah setempat untuk menyediakan makanan kepada penduduk,” kata Win Myat Aye seperti dikutip dari Reuters.
Namun dia tidak dapat menjelaskan rencana pemerintah untuk membantu warga Rohingya. “Ini sangat sulit untuk dijelaskan, ini situasi konflik sehingga sangat sulit untuk mengatakan siapa benar atau salah,” ujarnya seperti dikutip dari The Irrawaddy.
Pertempuran yang berlangsung hingga ke jalan raya di Kota Maungdaw, Rakhine. Suara tembakan senjata dan ledakan membuat penduduk Rakhine panik.
Mengutip The Irrawaddy, 27 Agustus 2017, penduduk Rakhine, baik itu yang dihuni nonmuslim maupun yang berbaur antara muslim dan nonmuslim berjaga-jaga dengan membawa pisau dan pentungan sebagai alat membela diri.
Banyak warga di sejumlah desa di Rakhine terjebak di area pertempuran yang berlangsung hingga ke jalan raya. Bahkan ditemukan banyak ranjau darat.
“Pertempuran berlanjut sepanjang hari kemarin di jalan raya, ditemukan banyak ranjau darat. Aparat lokal tidak memiliki cukup makanan untuk mereka semua. Harga komoditas beranjak naik hari demi hari,” kata seorang jurnalis di Kota Maungdao.
Sudah 98 orang tewas dalam pertempuran yang pecah pada Jumat, 25 Agustus 2017. Jumlah itu terdiri atas 80 pemberontak Rohingya dan 12 anggota pasukan keamanan.
Pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi, mengutuk bentrokan bersenjata dan menggunakan bom rakitan untuk menyerang 30 kantor polisi dan markas militer. Hingga ini, Suu Kyi, menurut kritikan negara-negara Barat, tidak berbicara keras tentang persekusi yang dialami etnis minoritas Rohingya bertahun-tahun lamanya. Malah sebaliknya membela militer dalam serangan pada Oktober tahun lalu.(*)
Sumber : tempo.co