Bandarlampung, Lampungnews.com – Pengamat Hukum Universitas Lampung (Unila), Eddy Rifai menilai hukum di Indonesia pasif dan sangat tergantung dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan maupun penuntutan dari penuntut umum.
“Di pengadilan itu juga tidak mau mendalami lebih lanjut. Misalnya ada beberapa kasus saya baca putusan-putusannya itu si A membeli narkoba dari si B. Dan ternyata si B jadi DPO, sudah begitu saja. Jadi sangat sederhana sekali,” kata Eddy, di Bandarlampung, Senin (27/2).
Eddy juga menilai, hakim juga kadangkala tidak mau menindaklanjuti lebih dalam si DPO ini bagaimana penanganannya apa dan sebagainya. Hal semacam itu juga yang terjadi di kepolisian.
Menurutnya, untuk membuktikan pengakuan bohong atau tidaknya tersangka, tidak bisa dari kata-kata saja.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung itu juga menyayangkan ketidakaktifan pengadilan.
“Pengadilan juga aktif tidak mau tahu terkait barangnya dari si B yang ternyata DPO, dan itu urusan lain. Padahal yang akan dibuktikan itu adalah tersangkanya. Jadi kalau memang sudah seperti itu, hakim menerima saja. Tapi kan keadilan yang sebenarnya dalam sistem membuktikan itu masih kurang,” ujarnya.
Menurut Doktor Hukum jebolan Universitas Indonesia itu pula, meskipun tersangka sampai ditembak, bisa saja berbohong dan memang sengaja tidak mengakui rekannya yang DPO. Seharusnya pihak kepolisian menggunakan lie detector (alat pendeteksi kebohongan).
“Seperti kejadian bahwa si A mendapatkan narkoba dari si B yang berada di lembaga permasyarakatan. Dengan adanya alat itu pihak kepolisian bisa menindaklanjuti dan peredaran narkoba bisa berkurang,” tuturnya.
(Baca: Peredaran Sabu Di Bandarlampung Dikendalikan Napi Way Hui?)
Di negara yang lebih maju aparat penegak hukum menggunakan lie detector. Dan jika seseorang sudah menjalani itu artinya publik tahu tersangka ini bohong atau tidak. (Adam)