Bandar Lampung, Lampungnews.com – Sekilas memang tak ada yang berbeda dari tampilan Masjid Jami’ Al Anwar dengan masjid lainnya. Bahkan tak ada kesan mewah atau kubahnya yang terlapis emas. Gapura sederhana tanpa meninggalkan unsur keislaman terlihat menyambut di depan.
Jalan utama menuju pintu masjid yang terbuat dari paving block ini ditemani taman dengan rumput menghijau di sisi kanan dan kirinya. Bangunan yang didominasi warna putih dan hijau serta segaris warna emas sebagai pemanis itu terlihat kokoh dan bersahaja. Tak ada kubah besar pada bagian atapnya seperti masjid masa kini, atapnya masih berbentuk jajaran genjang ditutupi genteng hijau.
Namun, rumah ibadah umat Islam yang berdiri di Jalan Laksamana Malahayati No. 100, Pesawahan, Telukbetung Selatan ini, justru memiliki nilai sejarah yang telah mengukir peradaban Islam di Lampung sejak abad 19 lalu.
Pada tahun 1839 – 1883, Masjid Jami’ Al Anwar pertama dibangun. Namun, bentuknya masih berbentuk surau. Kemudian, tahun 1883 akibat letusan dari Gunung Krakatau, masjid ini luluh lantak. Surau dibangun kembali pada tahun 1888. Dan pada 1888-1922 masjid ini kembali dibangun untuk memperkokohnya. Kemudian untuk pemugaran dan pembangunan fisik sebagai penunjang peribadatan pada tahun 1962-1979.
Sejarah mencatat cikal bakal berdirinya masjid ini bermula dari Daeng Sahiji yang mewakafkan tanah miliknya seluas 5 ribu hektare untuk dibangun menjadi sebuah masjid. Beranjak dari sana, para tokoh masyarakat dan ulama dari pelabuhan terbesar saat itu yakni di Gudang Agen dari berbagai macam suku seperti Banten, Bugis, Palembang, Jawa, dan Lampung pun mendirikan masjid ini. Dari para tokoh itulah akhirnya dipilih nama Masjid Jami’ Al Anwar yang artinya lebih bercahaya.
Tak hanya bangunannya yang memiliki nilai sejarah tinggi, masjid ini juga menyimpan sejumlah barang peninggalan sejarah yakni Al Qur’an tertua di Lampung yang berumur 1 abad lebih.
Terlihat kulit sampul mushaf yang menghitam dan kertas bagian dalam yang telah menguning. Keanggunannya masih tercetak jelas dari ukiran penuh disekeliling ayat suci Al Qur’an itu. Ditulis tangan secara langsung oleh seorang kiayi yang tidak diketahui namanya. Begitu juga dengan sebuah guci besar yang umurnya satu abad. Masjid Jami’ Al Anwar juga memiliki koleksi sekitar 4 ribu lebih buku tua yang berhasil diselamatkan dari letusan Gunung Krakatau.
Tak hanya kitab agama, banyak juga buku pengetahuan umum seperti industri dan pertanian. Tapi semua rata-rata bahasa asing seperti Portugis, Jerman, Inggris, dan Belanda.
Peninggalan sejarah masjid tertua di Sai Bumi Ruwa Jurai tak berhenti sampai di situ, sebuah sumur tua yang diyakini tak pernah kering meski musim kemarau. Bahkan, sejak jaman dulu hingga kini masih ada masyarakat sekitar yang datang untuk sekedar meminta air sumur yang konon katanya menjadi obat penyembuh segala macam penyakit.
Masjid Jami Al Anwar pun masih memiliki dua buah meriam peninggalan zaman Belanda yang saat itu digunakan sebagai penanda waktu imsak dan berbuka puasa. Namun, dua meriam yang diletakkan di depan pelataran masjid tidak digunakan lagi. (El Shinta)